Membangun Iklim Wirausaha dalam Masyarakat
Berwirausaha memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, namun harus siap menjalani berbagai tantangan. Tidak sedikit orang yang berhenti menjadi wirausahawan dan lebih suka melamar pada sebuah perusahaan untuk bekerja menjadi karyawan dengan gaji yang aman dan rutin setiap bulan, karena mental yang lemah dalam menghadapi tantangan ini. Berbagai tantangan harus siap kita hadapi. Misalnya, penghasilan yang tidak tetap dan kecil, sementara kebutuhan hidup tanpa ampun menyerang dari segenap penjuru. Kitapun dihantui rasa tidak aman dalam berwirausaha. Juga godaan untuk tidak berkomitmen dalam berwirausaha. Itu semua hanyalah godaan. Di sisi lain, masyarakat Indonesia kurang mampu dalam berinovasi dan berkreativitas menjadi salah satu penyebab banyaknya usaha yang bangkrut, padahal modal sudah tersedia.
Berwirausaha memang tak cukup hanya bermodalkan rasa ingin belaka. Berwirausaha harus merupakan pilihan, lalu menetapkan langkah pasti dan teguh dalam menjalaninya. Idealnya, komitmen dan konsistensi itu harus terus dijaga apapun ujiannya, apapun godaannya, dan apapun hasilnya. Apalagi tingkat persaingan usaha dan perilaku pasar semakin dinamis. Wirausahawan harus memiliki keyakinan, cita-cita untuk menjadi besar diawali dengan langkah-langkah kecil.
Pendidikan kewirausahaan (entrepreneurship) di Indonesia masih kurang memperoleh perhatian yang cukup memadai, baik oleh dunia pendidikan, masyarakat, maupun pemerintah. Banyak praktisi pendidikan yang kurang memperhatikan aspek-aspek penumbuhan mental, sikap, dan prilaku kewirausahaan peserta didik, baik di sekolah kejuruan maupun professional sekalipun. Orientasi mereka, pada umumnya, hanya pada upaya-upaya menyiapkan tenaga kerja yang siap pakai. Sementara itu, dalam masyarakat sendiri telah berkembang lama kultur feodal (priyayi) yang diwariskan oleh penjajahan Belanda. Sebagian besar anggota masyarakat memiliki persepsi dan harapan bahwa output dari lembaga pendidikan dapat menjadi pekerja (karyawan, administrator atau pegawai) oleh karena dalam pandangan mereka bahwa pekerja (terutama pegawai negeri) adalah priyayi yang memiliki status sosial cukup tinggi dan disegani oleh masyarakat.
Akan tetapi, melihat kondisi objektif yang ada, persepsi dan orientasi di atas musti diubah karena sudah tidak lagi sesuai dengan perubahan maupun tuntutan kehidupan yang berkembang sedemikian kompetitif. Pola berpikir dan orientasi hidup kepada pengembangan kewirausahaan merupakan suatu yang mutlak untuk mulai dibangun, paling tidak dengan melihat realitas sebagai berikut:[1]
1. Senantiasa terjadi ketidakseimbangan antara pertambahan jumlah angkatan kerja setiap tahun jika dibandingkan dengan ketersediaan lapangan kerja yang ada.
2. Yang dibutuhkan dalam menghadapi tantangan di era global ini adalah manusia mandiri (independent) yang memiliki keunggulan kompetitif maupun komparatif, mampu membangun kemitraan sehingga tidak menggantungkan pada orang lain.
Berdasarkan asumsi tersebut maka pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya, dengan cara mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran dalam masyarakat akan potensi yang dimiliki serta berupaya untuk mengembangkannya dengan dilandasi proses kemandirian.
PEMBAHASAN
A. Pengertian wirausaha (entrepreneur)
Definisi entrepreneur (wirausaha) adalah orang yang berani mengambil resiko untuk membuka usaha dalam berbagai kesempatan. Berjiwa berani mengambil resiko artinya bermental mandiri dan berani memulai usaha, tanpa diliputi rasa takut atau cemas sekalipun dalam kondisi tidak pasti.[2] Peluang akan dengan mudah dimanfaatkan seorang entrepreneur untuk membuat usaha baru dengan potensi profit yang besar. Tidak hanya peluang dalam kondisi positif (baik), tetapi juga dalam kondisi buruk. Entrepreneur dapat dengan mudah menganalisa permintaan barang atau jasa yang dibutuhkan masyarakat, bahkan dalam kondisi buruk seperti bencana dan kelangkaan. Jenis usaha yang digeluti entrepreneur dapat merupakan penciptaan usaha baru maupun membeli usaha yang telah lama berdiri.
Pengertian kewirausahaan relatif berbeda-beda antar para ahli/sumber acuan dengan titik berat perhatian atau penekanan yang berbeda-beda, Beberapa definisi tentang kewirausahaan tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Richard Cantillon (1775)
Kewirausahaan didefinisikan sebagai bekerja sendiri (self-employment). Seorang wirausahawan membeli barang saat ini pada harga tertentu dan menjualnya pada masa yang akan datang dengan harga tidak menentu. Jadi definisi ini lebih menekankan pada bagaimana seseorang menghadapi resiko atau ketidakpastian
b. Jean Baptista Say (1816)
Seorang wirausahawan adalah agen yang menyatukan berbagai alat-alat produksi dan menemukan nilai dari produksinya.
c. Frank Knight (1921)
Wirausahawan mencoba untuk memprediksi dan menyikapi perubahan pasar. Definisi ini menekankan pada peranan wirausahawan dalam menghadapi ketidakpastian pada dinamika pasar. Seorang worausahawan disyaratkan untuk melaksanakan fungsi-fungsi manajerial mendasar seperti pengarahan dan pengawasan
d. Joseph Schumpeter (1934)
Wirausahawan adalah seorang inovator yang mengimplementasikan perubahan-perubahan di dalam pasar melalui kombinasi-kombinasi baru. Kombinasi baru tersebut bisa dalam bentuk (1) memperkenalkan produk baru atau dengan kualitas baru, (2) memperkenalkan metoda produksi baru, (3) membuka pasar yang baru (new market), (4) Memperoleh sumber pasokan baru dari bahan atau komponen baru, atau (5) menjalankan organisasi baru pada suatu industri. Schumpeter mengkaitkan wirausaha dengan konsep inovasi yang diterapkan dalam konteks bisnis serta mengkaitkannya dengan kombinasi sumber daya.
e. Penrose (1963)
Kegiatan kewirausahaan mencakup indentifikasi peluang-peluang di dalam sistem ekonomi. Kapasitas atau kemampuan manajerial berbeda dengan kapasitas kewirausahaan.
f. Harvey Leibenstein (1968, 1979)
Kewirausahaan mencakup kegiatan-kegiatann yang dibutuhkan untuk menciptakan atau melaksanakan perusahaan pada saat semua pasar belum terbentuk atau belum teridentifikasi dengan jelas, atau komponen fungsi produksinya belum diketahui sepenuhnya.
Salah satu kesimpulan yang bisa ditarik dari berbagai pengertian tersebut adalah bahwa kewirausahaan dipandang sebagai fungsi yang mencakup eksploitasi peluang-peluang yang muncul di pasar. Eksploitasi tersebut sebagian besar berhubungan dengan pengarahan dan atau kombinasi input yang produktif. Seorang wirausahawan selalu diharuskan menghadapi resiko atau peluang yang muncul, serta sering dikaitkan dengan tindakan yang kreatif dan innovatif. Wirausahawan adalah orang yang merubah nilai sumber daya, tenaga kerja, bahan dan faktor produksi lainnya menjadi lebih besar daripada sebelumnya dan juga orang yang melakukan perubahan, inovasi dan cara-cara baru.
B. Kegiatan Kewirausahaan Menurut Pandangan Islam
Islam memang tidak memberikan penjelasan secara eksplisit terkait konsep tentang kewirausahaan (entrepreneurship) ini, namun di antara keduanya mempunyai kaitan yang cukup erat; memiliki ruh atau jiwa yang sangat dekat, meskipun bahasa teknis yang digunakan berbeda. Dalam Islam digunakan istilah kerja keras, kemandirian (biyadihi), dan tidak cengeng. Setidaknya terdapat beberapa ayat al-Qur’an maupun Hadis yang dapat menjadi rujukan pesan tentang semangat kerja keras dan kemandirian ini, seperti; “Amal yang paling baik adalah pekerjaan yang dilakukan dengan cucuran keringatnya sendiri, ‘amalurrajuli biyadihi (HR.Abu Dawud)” ;
“Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah.”( HR.Bukhari dan Muslim) (dengan bahasa yang sangat simbolik ini Nabi mendorong umatnya untuk kerja keras supaya memiliki kekayaan, sehingga dapat memberikan sesuatu pada orang lain), atuzzakah. (Q.S. Nisa : 77) “Manusia harus membayar zakat (Allah mewajibkan manusia untuk bekerja keras agar kaya dan dapat menjalankan kewajiban membayar zakat)”. Dalam sebuah ayat Allah mengatakan, “Bekerjalah kamu, maka Allah dan orang-orang yang beriman akan melihat pekerjaan kamu”(Q.S. at-Taubah : 105). Oleh karena itu, apabila shalat telah ditunaikan maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia (rizki) Allah. (Q.S. al-Jumu’ah : 10)
Bahkan sabda Nabi, “Sesungguhnya bekerja mencari rizki yang halal itu merupakan kewajiban setelah ibadah fardlu” (HR.Tabrani dan Baihaqi). Nash ini jelas memberikan isyarat agar manusia bekerja keras dan hidup mandiri. Bekerja keras merupakan esensi dari kewirausahaan. Prinsip kerja keras, menurut Wafiduddin, adalah suatu langkah nyata yang dapat menghasilkan kesuksesan (rezeki), tetapi harus melalui proses yang penuh dengan tantangan (reziko). Dengan kata lain, orang yang berani melewati resiko akan memperoleh peluang rizki yang besar. Kata rizki memiliki makna bersayap, rezeki sekaligus reziko (baca; resiko).
Dalam sejarahnya Nabi Muhammad, istrinya dan sebagian besar sahabatnya adalah para pedagang dan entrepre mancanegara yang pawai. Beliau adalah praktisi ekonomi dan sosok tauladan bagi umat. Oleh karena itu, sebenarnya tidaklah asing jika dikatakan bahwa mental entrepreneurship inheren dengan jiwa umat Islam itu sendiri. Bukanlah Islam adalah agama kaum pedagang, disebarkan ke seluruh dunia setidaknya sampai abad ke -13 M, oleh para pedagang muslim. Dari aktivitas perdagangan yang dilakukan, Nabi dan sebagian besar sahabat telah meubah pandangan dunia bahwa kemuliaan seseorang bukan terletak pada kebangsawanan darah, tidak pula pada jabatan yang tinggi, atau uang yang banyak, melainkan pada pekerjaan. Oleh karena itu, Nabi juga bersabda “Innallaha yuhibbul muhtarif” (sesungguhnya Allah sangat mencintai orang yang bekerja untuk mendapatkan penghasilan). Umar Ibnu Khattab mengatakan sebaliknya bahwa, “Aku benci salah seorang di antara kalian yang tidak mau bekerja yang menyangkut urusan dunia. Keberadaan Islam di Indonesia juga disebarkan oleh para pedagang. Di samping menyebarkan ilmu agama, para pedagang ini juga mewariskan keahlian berdagang khususnya kepada masyarakat pesisir. Di wilayah Pantura, misalnya, sebagian besar masyarakatnya memiliki basis keagamaan yang kuat, kegiatan mengaji dan berbisnis sudah menjadi satu istilah yang sangat akrab dan menyatu sehingga muncul istilah yang sangat terkenal jigang (ngaji dan dagang).
Sejarah juga mencatat sejumlah tokoh Islam terkenal yang juga sebagai pengusaha tangguh, Abdul Ghani Aziz, Agus Dasaad, Djohan Soetan, Perpatih, Jhohan Soelaiman, Haji Samanhudi, Haji Syamsuddin, Niti Semito, dan Rahman Tamin. Apa yang tergambar di atas, setidaknya dapat menjadi bukti nyata bahwa etos bisnis yang dimiliki oleh umat Islam sangatlah tinggi, atau dengan kata lain Islam dan berdagang ibarat dua sisi dari satu keping mata uang. Benarlah apa yang disabdakan oleh Nabi, “Hendaklah kamu berdagang karena di dalamnya terdapat 90 persen pintu rizki” (HR. Ahmad).
1. Motif Berwirausaha Dalam Bidang Perdagangan menurut ajaran agama Islam, yaitu:
a) Berdagang bukan hanya untuk memperoleh keuntungan
Pekerjaan berdagang adalah sebagian dari pekerjaan bisnis yang sebagian besar bertujuan untuk mencari laba sehingga seringkali untuk mencapainya dilakukan hal-hal yang tidak baik. Padahal ini sangat dilarang dalam agama Islam. Seperti diungkapkan dalam hadis : “Allah mengasihi orang yang bermurah hati waktu menjual, waktu membeli, dan waktu menagih piutang.” Pekerjaan berdagang masih dianggap sebagai suatu pekerjaan yang rendahan karena biasanya berdagang dilakukan dengan penuh trik, penipuan, ketidakjujuran, dll.
b) Berdagang adalah Hobi
Konsep berdagang adalah hobi banyak dianut oleh para pedagang dari Cina. Mereka menekuni kegiatan berdagang ini dengan sebaik-baiknya dengan melakukan berbagai macam terobosan.Yaitu dengan open display (melakukan pajangan di halaman terbuka untuk menarik minat orang), window display (melakukan pajangan di depan toko),interior display (pajangan yang disusun didalam toko), dan close display (pajangan khusus barang-barang berharga agar tidak dicuri oleh orang yang jahat).
c) Berdagang Adalah Ibadah
Bagi umat Islam berdagang lebih kepada bentuk Ibadah kepada Allah swt. Karena apapun yang kita lakukan harus memiliki niat untuk beribadah agar mendapat berkah. Berdagang dengan niat ini akan mempermudah jalan kita mendapatkan rezeki. Para pedagang dapat mengambil barang dari tempat grosir dan menjual ditempatnya. Dengan demikian masyarakat yang ada disekitarnya tidak perlu jauh untuk membeli barang yang sama. Sehingga nantinya akan terbentuk patronage buying motive yaitu suatu motif berbelanja ketoko tertentu saja. Berwirausaha memberi peluang kepada orang lain untuk berbuat baik dengan cara memberikan pelayanan yang cepat, membantu kemudahan bagi orang yang berbelanja, memberi potongan, dll. Perbuatan baik akan selalu menenangkan pikiran yang kemudian akan turut membantu kesehatan jasmani. Hal ini seperti yang diungkapkan dalam buku The Healing Brain yang menyatakan bahwa fungsi utama otak bukanlah untuk berfikir, tetapi untuk mengembaliakn kesehatan tubuh. Vitalitas otak dalam menjaga kesehatan banyak dipengaruhi oleh frekwensi perbuatan baik. Dan aspek kerja otak yang paling utama adalah bergaul, bermuamalah, bekerja sama, tolong menolong, dan kegiatan komunikasi dengan orang lain.
d) Perintah Kerja Keras
Kemauan yang keras dapat menggerakkan motivasi untuk bekerja dengan sungguh-sungguh. Orang akan berhasil apabila mau bekerja keras, tahan menderita, dan mampu berjuang untuk memperbaiki nasibnya. Menurut Murphy dan Peck, untuk mencapai sukses dalam karir seseorang, maka harus dimulai dengan kerja keras. Kemudian diikuti dengan mencapai tujuan dengan orang lain, penampilan yang baik, keyakinan diri, membuat keputusan, pendidikan, dorongan ambisi, dan pintar berkomunikasi. Allah memerintahkan kita untuk tawakkal dan bekerja keras untuk dapat mengubah nasib. Jadi intinya adalah inisiatif, motivasi, kreatif yang akan menumbuhkan kreativitas untuk perbaikan hidup. Selain itu kita juga dianjurkan untuk tetap berdoa dan memohon perlindungan kepada Allah swt sesibuk apapun kita berusaha karena Dialah yang menentukan akhir dari setiap usaha.
e) Perdagangan/ Berwirausaha Pekerjaan Mulia Dalam Islam
Pekerjaan berdagang ini mendapat tempat terhormat dalam ajaran Islam, seperti disabdakan Rasul : “ Mata pencarian apakah yang paling baik, Ya Rasulullah?”Jawab beliau: Ialah seseorang yang bekerja dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang bersih.” (HR. Al-Bazzar). Dalam QS.Al-Baqarah: 275 dijelaskan bahwa Allah swt telah menghalalkan kegiatan jual beli dan mengharamkan riba. Kegiatan riba ini sangat merugikan karena membuat kegiatan perdagangan tidak berkembang. Hal ini disebabkan karena uang dan modal hanya berputar pada satu pihak saja yang akhirnya dapat mengeksploitasi masyarakat yang terdesak kebutuhan hidup.
2. Perilaku Terpuji dalam Perdagangan/ Berwirausaha
Menurut Imam Ghazali, ada 6 sifat perilaku yang terpuji dalam perdagangan, yaitu:
a) Tidak mengambil laba lebih banyak.
Membayar harga yang sedikit lebih mahal kepada pedagang yang miskin. Memurahkan harga dan memberi potongan kepada pembeli yang miskin sehingga akan melipatgandakan pahala. Bila membayar hutang, maka bayarlah lebih cepat dari waktu yang telah ditetapkan. Membatalkan jual beli bila pihak pembeli menginginkannya. Bila menjual bahan pangan kepada orang miskin secara cicilan, maka jangan ditagih apabila orang tersebut tidak mampu membayarnya dan membebaskan ia dari hutang apabila meninggal dunia.
b) Manajemen Utang Piutang
Hutang ini sudah melekat pada kehidupan masyarakat kita. Dosa hutang tidak akan hilang apabila tidak dibayarkan. Bahkan orang yang mati syahidpun dosa utangnya tidak berampun. Jadi jika seseorang meninggal, maka ahli warisnya wajib melunasi hutang tersebut. Tapi jika orang tersebut telah berusaha membayarnya, tetapi memang betul-betul tidak mampu, dan ia kemudian meninggal dunia, maka Rasul saw menjadi penjaminnya. Seperti dalam hadis berikut : “ Barang siapa dari umatku yang punya hutang, kemudian ia berusaha keras untuk membayarnya, lalu ia meninggal dunia sebelum lunas hutangnya, maka aku sebagai walinya.” (HR. Ahmad).
c) Demonstration Effect Menyebabkan Faktor Modal Menjadi Beku
Demonstration Effect atau pamer kekayaan akan dapat mengundang kecemburuan social, orang lain menjadi iri, mengundang pencuri/perampok, membuat modal masyarakat menjadi beku dan membuat masyarakat tidak produktif. Nabi saw menganjurkan agar kita menggunakan uang untuk kepentingan yang di ridhoi Allah, terutama untuk tujuan pengembangan produktivitas yang digunakan untuk kepentingan umat. Dalam sebuah hadist disebutkan : “Barang siapa mengurus anak yatim yang mempunyai harta, maka hendaklah ia memperdagangkan harta ini untuknya, jangan biarkan harta itu habis termakan sedekah (zakat).” (HR. At-Tarmidzi dan Ad-Daruquthni). Dalam hadist tersebut dapat disimpulkan bahwa apabila kita memiliki modal, maka janganlah disimpan begitu saja, tetapi harus digunakan untuk sesuatu yang menghasilkan.
4. Membina Tenaga Kerja Bawahan
Hubungan antara pengusaha dan pekerja harus dilandasi oleh rasa kasih sayang, saling membutuhkan, dan tolong menolong. Hal ini dapat dilihat dari hubungan dalam bidang pekerjaan. Pengusaha menyadiakan lapangan kerja dan pekerja menerima rezeki berupa upah dari pengusaha. Pekerja menyediakan tenaga dan kemampuannya untuk membantu pengusaha untuk menyelesaikan pekerjaan yang diperintahkan. Majikan mempunyai hak untuk memerintah bawahan dan mendapat keuntungan. Majikan juga mnemiliki kewajiban yaitu membayar upah karyawan sesegera mungkin dan melindungi karyawannya. Seperi dalam hadist berikut : “Berikanlah kepada karyawanmu upahnya sebelum kering keringatnya.”(HR. Ibnu Majah) Sebagai majikan kita juga harus menyayangi dan memperlakukan bawahan dengan baik karena itu bertentangan dengan ajaran islam.
C. Mengembangkan Jiwa Kewirausaan dalam Masyarakat
Istilah kewirausahaan atau kewiraswastaan dalam arti secara luas merujuk kepada pengertian proses penciptaan sesuatu yang berbeda nilainya dengan menggunakan usaha dan waktu yang diperlukan, memikul resiko finansial, psikologi dan sosial yang menyertainya serta menerima balas jasa moneter dan kepuasan pribadi. Mengutip pendapat Masykur Wiratmo wirausahawan atau wiraswastawan adalah orang yang meng- ubah nilai sumber daya, tenaga kerja, bahan dan faktor produksi lainnya menjadi lebih besar daripada sebelumnya dan juga orang yang melakukan perubahan, inovasi dan cara-cara baru.[3]
Kewirausahaan atau kewiraswastaan sebagai sebuah profesi, tidak terbentuk secara begitu saja. la melainkan membutuhkan proses yang harus dijalani secara intensif, terus menerus dan terpadu. Berwirausaha dapat diraih atau dicapai lewat usaha atau proses yang terencana, sistematis dan intensif. Bahkan, dalam perspektif sosiologi, perubahan budaya wirausaha paling efektif dilakukan melalui proses pendidikan yang by design. Berpijak pada asumsi ini semua orang sah untuk menjadi seorang wirausahawan, walaupun tidak ada turunan atau warisan orang tua secara genetik atau kultural.[4]
Berkaitan dengan adanya etos kewirausahaan masyarakat Islam yang relatif masih rendah, maka sangat perlu untuk diberdayakan atau dikembangkan agar mereka mempunyai kepribadian dan semangat yang lebih tinggi dalam berwirausaha. Adapun ciri-ciri kepribadian wirausaha atau wirausaha mencakup hal-hal sebagai berikut:[5]
1) Mengetahui secara tepat cita-cita yang hendak dicapai, sekurang- kurangnya mengenai apa yang diinginkan atau dikehendaki dalam hidup dan kehidupan ini.
2) Mengetahui secara jelas apa yang harus dilakukan untuk mencapai cita-cita atau sekurang-kurangnya tahu menyibukkan diri untuk mewujudkan apa yang diinginkan dan atau dikehendaki setiap dan sepanjang hari.
3) Bersedia bekerja keras secara disiplin, karena mengetahui waktu terus beredar dan tidak berulang, oleh karena itu berarti juga memiliki disiplin waktu dan disiplin kerja yang tinggi.
4) Percaya dan yakin bahwa nasib manusia ditentukan Tuhan Yang Maha Esa dan setiap manusia diberi kesempatan yang sama untuk mem- peroleh nasib yang terbaik, sesuai dengan cita-citanya.
5) Memiliki kemampuan bersaing dan bekerja sama dengan orang lain atas dasar memiliki kepercayaan pada diri sendiri, dapat dipercaya dan mampu mempercayai orang lain. Sadar bahwa sukses hanya dapat dicapai jika mampu memperlakukan orang lain secara benar, baik sebagai saingan yang tidak diperlakukan sebagai musuh maupun dalam situasi lain diperlukan untuk mendukung usaha menuju sukses.
6) Mengetahui bahwa sukses adalah kesempatan yang menuntut perjuangan hidup yang keras, bukan hadiah.
7) Menggunakan otak untuk mendorong, melaksanakan, menciptakan dan menolong diri sendiri menuju sukses, dengan berpikir besar, maju, positif, realistis dan kreatif. Tidak mempergunakan otak untuk meng- hambat dan menghalangi menuju sukses, dengan berpikir mundur, kecil, pesimis dan negatif.
8) Membekali diri dengan pengetahuan dan ketrampilan yang selaras dengan kemajuan dan perkembangan jaman. Dengan kata lain mampu mensyukuri pemberian Tuhan berupa alat kelengkapan tubuh dengan memeliharanya agar tetap utuh, sehat dan berfungsi. Mampu pula mempergunakannya secara baik, benar, tepat dan efisien sesuai sukses yang hendak dituju. Sebaliknya berusaha menghindari penggunaannya yang dapat merugikan, baik untuk kehidupan di dunia maupun kelak setelah kembali menghadapi Tuhan di akhirat
9) Berani menciptakan dan merebut kesempatan dan mampu mewujud- kannya secara gigih, tekun, hati-hati dan cermat. Tidak mencari-cari kesalahan pada orang lain atau berdalih apabila mengalami kegagalan. Dengan kata lain untuk mencari kambing hitam dengan mempersalah- kan orang lain atau kondisi yang dihadapi, jika mengalami kegagalan. Terbuka pada kritik, saran dan pendapat orang lain, tetapi berusaha bangun dengan kekuatan sendiri.
10) Sadar bahwa kehidupan di dunia bersifat terbatas, segala sesuatu bersifat sementara. Oleh karena itu selalu siap dalam menghadapi akhir kehidupan di dunia, dengan menunaikan semua perintah dan meninggalkan semua larangan Tuhan, guna meraih kehidupan yang selamat, bahagia dan sejahtera di akhirat.
Berdasarkan ciri-ciri kepribadian wirausaha sebagai pribadi mandiri seperti disebutkan di atas, berarti hambatan utama dalam mewujudkannya adalah ketergantungan pada orang lain. Dengan demikian masyarakat yang memiliki kepribadian berwirausaha tidak hanya bisa "menjemput bola" atau mencari dan menunggu lowongan kerja, tetapi bisa menciptakan lapangan pekerjaan, berkarya dan produktif sehingga tercukupi kebutuhan perekonomiannya. Salah satu upaya untuk memberdayakan potensi ekonomi umat Islam serta membangun sebuah masyarakat Islam yang mandiri adalah melahirkan sebanyak-banyaknya wirausaha baru.
Rusma Hakim mengemukakan sejumlah nilai positif bagi mereka yang menjalani wirausaha. Pertama, mereka tidak tergantung kepada ada atau tidaknya lowongan kerja, karena mereka sendirilah yang membuka lapangan kerja. Kedua, wirausahawan tidak diperintah oleh orang lain, ia bisa "boss" bagi orang lain atau menjadi "boss" bagi dirinya sendiri. Ketiga, wirausahawan memiliki peluang penghasilan yang tak terbatas. Keempat, wirausahawan mengatur diri sendiri jam kerja, liburan, besar penghasilan dan sebagainya. Kelima, mempunyai wawasan dan pergaulan yang luas. Keenam, bisa mengembangkan gagasan sepenuhnya, tanpa mendapat hambatan yang berarti dari pihak lain. Ketujuh, bisa langsung sibuk bekerja.[6]
Berkaitan dengan pemberdayaan ekonomi umat Islam, Musa Asy'ari menyebutkan bahwa etos kerja seorang khalifatullaJi fil ardli yaitu wakil Allah SWT untuk meneruskan tugas penciptaan kesejahteraan di muka bumi pada dasarnya merupakan dorongan untuk melahirkan seorang pengusaha yang kreatif, inovatif dan bermoral sehingga kecerdasannya dapat melihat peluang- peluang usaha dan bisnis di tengah krisis, akan menjadi bagian dari perwujudan rahmaian lil 'alamin. Kekayaan dalam Islam adalah tidak bebas nilai, baik dalam cara memperoleh kekayaan maupun dalam cara meng- gunakan perolehan kekayaan itu serta untuk tujuan apa kekayaan itu diperoleh dan dipergunakan. Al Qur'an dan Al Hadist menentukan tata cara tertentu dan mengecain tata cara lainnya untuk perilaku etis yang tetap dalam bisnis atau wirausaha. Hal ini bisa diringkaskan ke dalam tiga hal:
a. Kemurahan hati. Ini merupakan dasar dan inti tata cara yang baik. Kualitas tindakan ini meliputi kesopanan, pemberian maaf, meng- hilangkan kesukaran, kompensasi.
b. Niat untuk meiayani. Menurut Al-Qur'an dalam semua kegiatan bisnis muslim hams berniat untuk memberikan pelayanan yang dibutuhkan untuk masyarakat dan kemanusiaan secara umum.
c. Mengingat Allah. Seorang muslim diharuskan untuk selalu mengingat Allah bahkan apabila mereka sedang sibuk melakukan bisnis. Dengan demikian kegiatan bisnis hams sejalan dengan moralitas dan nilai-nilai yang lebih tinggi yang ditetapkan Al-Qur'an.[7]
Dalam dataran historis, peranan para pelaku ekonomi seperti para pengusaha dan pedagang tercatat sebagai pilar penyangga dari per- kembangan agama Islam, bahkan tersebarnya Islam ke Indonesia dibawa oleh para pedagang Gujarat. Karena itu, kemajuan dalam kegiatan ekonomi umat Islam berdampak positif bagi kemajuan agama Islam itu sendiri. Pemikiran dan pengembangan perekonomian umat Islam menjadi penting sebagai bagian dari dakwah Islam. Sesungguhnya dakwah Islam akan semakin efektif jika ditunjang oleh kemajuan perekonomian umat Islam. Keterbelakangan perekonomian dan kebodohan umat akan mempersulit dakwah Islam. Dengan demikian pemberdayaan ekonomi melalui usaha pengembangan etos kewirausahaan masyarakat Islam diharapkan dapat membangun kehidupan umat yang lebih maju dan berkualitas, baik kualitas keimanan atau ketaqwaan, intelektual, kemandirian, jasmaniah, ibadah maupun amal shaleh sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam semangat hijrah Rasulullah.
1. Konsep Perbaikan Lingkungan Eksternal
Jika memang kewirausahaan penting, Tahap yang pertama yang harus dilakukan adalah perbaikan terhadap lingkungan eksternal. Lingkungan eksternal merupakan faktor penting dalam pembentukan kewirausahaan. Lingkungan fisik yang subur, aksesabel bagi kegiatan sosial dan ekonomi dimana tersedia jalan, jembatan, listrik, telepon, pasar yang memadai harus diciptakan untuk mendukung pengembangan kewirausahaan. Pasar harus berjalan efisien, sehingga monopoli dalam berbagai bentuk harus dihilangkan. Penciptaan pasar yang efisien, adil dan partisipatif akan memotivasi masyarakat untuk mengalokasikan dan mengintegrasikan sumberdaya yang ada untuk kegiatan sosial, ekonomi dan politik. Perlu diciptakan suku bunga kredit yang kompetitif dan menarik sehingga akan memotivasi masyarakat menciptakan entrepreneurial activities untuk meningkatkan kesejahteraannya. Penerapan pajak barang mewah untuk mobil harus pula dievaluasi. Jika pajak diturunkan, harga mobil akan turun, daya beli naik, permintaan naik, dealer bertambah, tenaga kerja terserap, dan akhirnya terjadi pertukaran barang dan jasa yang lebih cepat dari sebelumnya. Untuk menggerakkan kewirausahaan di sektor pertanian, beri kepastian harga dan kepastian untuk dibeli. Ini akan menginisiasi warga untuk masuk ke sektor pertanian dari hulu sampai hilir. Ini yang dilakukan oleh Raja dan Pemerintah Thailand dan Jepang sehingga pertaniannya maju padahal lahan mereka kalah subur dari Indonesia. Kemudian, memperbaiki persepsi masyarakat akan pembagian kerja yang berstatus, akan sangat penting bagi pembangunan kewirausahaan. Pemahaman kewirausahaan hanya sama dengan pedagang dan pengusaha harus diubah.
Kewirausahaan merupakan kegiatan diberbagai bidang yang mengedepankan kepemilikan terhadap visi hidup, dorongan yang kuat, keinginan untuk independen dan selalu ingin maju, kreatif-inovatif, berpengetahuan luas, memiliki keahlian dan memiliki kemampuan memadai menjadi tema besar untuk dikembangkan sehingga kewirausahaan akan tercipta. Mencetak pengusaha saja tidak akan mengatasi persoalan pembangunan.
Kedua, perlu segera mendisain Pendidikan Kewirausahaan. Entre- preneurship merupakan hasil interaksi, integrasi dan refleksi ide, ekspektasi, dan aktivitas satu orang dengan lainnya. Aspek-aspek tersebut merupakan dimensi inti dari entrepreneurial competence. Pembelajaran dengan tujuan untuk meningkatkan interaksi, integrasi dan refleksi dapat meningkatan pertumbuhan individu. Jika pendidikan dan latihan kewirausahaan didasarkan pada aspek tujuan pembelajaran pertumbuhan individu, kita sedang melakukan pengembangan entrepreneurship pedagogy dan dapat mendukung entrepreneurial activities. Metode Pendidikan dan pelatihan kewirausahaan harus diarahkan untuk mendukung inisiatif dan kreatifitas, mengakuisisi struktur pengalaman dalam pembelajaran yang dialami dan menyediakan laboratorium untuk belajar dan berkreasi. Pendekatan yang digunakan harus berbeda dengan pendekatan tradisional (lecturer style teaching) dan harus diganti dengan metode action learn- ing approach.
Pendidikan kewirausahaan perlu diarahkan pada pengembangan kompetensi yang dapat digunakan dalam bekerja dan hidup. Oleh karena itu pengembangan kurikulum pendidikan kewirausahaan jangan hanya terbatas pada studi bisnis saja, namun harus menyediakan juga kesempatan mengembangkan berbagai proyek dan kegiatan, kondisi persaingan dan makro ekonomi yang mempengaruhi berbagai hal. Interaksi sosial dan budaya perlu juga dimasukkan dalam kurikulum, mulai dari SD sampai PT. Pengembangan pendidikan kewirausahaan merupakan persoalan yang kompleks. Oleh karena itu model triple helix harus digunakan untuk mengatasi kompleksitas pendidikan kewirausahaan. Ketiga pihak seperti perguruan tinggi, pengusaha dan pemerintah bisa bekerjasama untuk menghasilkan sistem pendidikan kewirausahaan yang handal.
Ada empat tujuan dalam pendidikan kewirausahaan yaitu pendidikan motivasional, pendidikan pengetahuan, pendidikan keahlian (skill) dan pengembangan kemampuan (ability). Oleh karena itu sistem pendidikan, kurikulum dan metode harus diarahkan untuk mencapai 4 tujuan tersebut. Pendidikan kewirausahaan paling awal akan terjadi pada lingkungan keluarga. Pada level ini, sistem pola asuh menjadi sangat penting. Pola asuh dan upaya untuk membangun sikap motivasional dan meningkatkan faktor kognisi bisa dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari penanaman visi hidup, belajar berusaha, ikut kursus sesuai dengan bidang minat dan kemampuannya dan pendampingan terus-menerus untuk mencoba pengalaman-pengalaman baru secara naratif maupun dramatik. Sejak awal, orang tua harus menanamkan pendidikan kewirausahaan pada anak-anak mereka, dengan mengembangkan sikap terbuka. Jangan ini, jangan itu, awas, hati-hati, adalah cara mendidik yang harus diubah dengan pembimbingan dan pendampingan, bukan pelarangan dan ancaman.
Kurikulum ini harus didukung dengan sistem pengajaran yang membangun inspirasi, kreasi dan pemaknaan hidup, bukan sistem pengajaran hafalan. Sistem evaluasi belajar juga harus diubah dari hanya sistem tes pengetahuan saja ditambah dengan sistem yang menguji perubahan motivasional yang terjadi pada peserta didik. Materi Ujian nasional seperti yang telah diterapkan selama ini, tidak akan mampu meningkatkan jiwa kewirausahaan peserta didik. Pendidikan bisa dimulai dari Pendidikan Usia Dini, kemudian dilanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi seperti SD, SMP, SMA dan PT. Masing-masing tingkatan pendidikan harus memiliki kurikulum pendidikan kewirausahaan. Perlu disusun pendidikan kewirausahaan bagi masyarakat sehingga sikap motivasioanalnya dan aspek kognisinya meningkat. Upaya ini bisa dilakukan oleh para social entrepreneur seperti LSM. Perguruan Tinggi, Perusahaan, Pemerintah dan pihak-pihak lain yang “memiliki hati” untuk mengembangkan social entrepreneurship. Pemberian bantuan baik dari pemerintah dan swasta harus membangun jiwa kewirausahaan masyarakat, bukan malah sebaliknya, menciptakan ketergantungan dan jiwa meminta-minta yang akut di masyarakat.
Pendirian Sekolah Negeri yang dengan tujuan memberi akses pendidikan, namun justru menyebabkannya Sekolah Swasta tutup, harus dievaluasi keberadaannya. Kedepan, program pemerintah harus diarahkan agar supaya peran swasta dan masyarakat semakin tinggi. Peran pemerintah perlu dikembalikan pada corenya seperti regulator, fasilitator, dinamisator dan moti- vator bagi masyarakat. Peran swasta lambat laun ditingkatkan sehingga pada akhirnya akan tercipta efisiensi dan produktivitas. Efisiensi ekonomi harus diciptakan secara riil bukan semu sehingga akan menyebabkan welfare gain bagi masyarakat. Pemerintah yang mandiri bukan diukur dari banyaknya BUMD dan PAD yang didapat, tapi seberapa besar pajak yang diperoleh dari aktivitas ekonomi masyarakat. Jika demikian adanya, masyarakat akan memiliki sikap motivasional yang tinggi, yang merupakan salah satu the backbone ot entrepreneurship masyarakat. Pada level organisasi/perusahaan, sistem rekrutmen harus diarahkan tidak hanya memenuhi formasi, namun harus juga digunakan untuk mengetahui potensi pekerja tersebut. Dengan mengetahui potensi, perusahaan bisa mengembangkan pekerja tersebut sesuai dengan potensinya. Sejak awal, juga perlu dijelaskan tentang “mimpi karir” yang bisa dicapai oleh pekerja jika dia bisa berprestasi tinggi, termasuk juga dengan sistem renumerasinya. Peluang untuk pendidikan dan pelatihan serta pengembangan pekerja perlu juga diberikan kepada pekerja untuk membangun sikap motivasional dan aspek kognisinya. Peranan dan arahan dari pemimpin, menjadi faktor penting dalam pembentukan kewirausahaan dari pekerja. Pemberian target merupakan tantangan yang bisa memunculkan kewirausahaan pada pekerja. Pemberian penghargaan yang fair, tepat waktu dan terbuka akan menghasilkan motivasi bagi pekerja. Sementara itu, tiadanya sistem hukuman yang fair, terbuka dan konsisten justru akan mendemotivasi pekerja. Oleh karena itu, perlu juga dibuat aturan dan hukuman yang jelas dan dilaksanakan secara adil, konsisten dan konsekuen.
PENUTUP
a. Kesimpulan
kewirausahaan dipandang sebagai fungsi yang mencakup eksploitasi peluang-peluang yang muncul di pasar. Eksploitasi tersebut sebagian besar berhubungan dengan pengarahan dan atau kombinasi input yang produktif. Seorang wirausahawan selalu diharuskan menghadapi resiko atau peluang yang muncul, serta sering dikaitkan dengan tindakan yang kreatif dan innovatif. Wirausahawan adalah orang yang merubah nilai sumber daya, tenaga kerja, bahan dan faktor produksi lainnya menjadi lebih besar daripada sebelumnya dan juga orang yang melakukan perubahan, inovasi dan cara-cara baru.
Tahap yang pertama yang harus dilakukan adalah perbaikan terhadap lingkungan eksternal, yaitu pasar yang memadai harus diciptakan untuk mendukung pengembangan kewirausahaan. Pasar harus berjalan efisien, sehingga monopoli dalam berbagai bentuk harus dihilangkan. Penciptaan pasar yang efisien, adil dan partisipatif akan memotivasi masyarakat untuk mengalokasikan dan mengintegrasikan sumberdaya yang ada untuk kegiatan sosial, ekonomi dan politik. Perlu diciptakan suku bunga kredit yang kompetitif dan menarik sehingga akan memotivasi masyarakat menciptakan entrepreneurial activities untuk meningkatkan kesejahteraannya. Kedua, perlu segera mendisain Pendidikan Kewirausahaan. Entrepreneurship merupakan hasil interaksi, integrasi dan refleksi ide, ekspektasi, dan aktivitas satu orang dengan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Kasmir. 2007. Kewirausahaan. Jakarta: PT Raja Grafindo Perkasa.
Machendrawaty, Nanih dan Agus Ahmad Safei, 2001, Pengembangan Masyarakat Islam dari Ideologi, Strategi sampai Tradisi, Bandung: Remaja Rosda Karya.
Suryana. 2006. Kewirausahaan Pedoman Praktis: Kias dan Proses Menuju Sukses. Jakarta: Salemba Empat.
Carlos W. Moore, dkk. 2000. Kewirausahaan Manajemen Usaha Kecil, Jakarta: Salemba Empat.
Lambing Peggy, Charles R. Kuehl. 2002. Entrepreneurship. New Jersey: Prentice Hall, Inc.
[1] Suryana, Kewirausahaan Pedoman Praktis: Kias dan Proses Menuju Sukses. (Jakarta: Salemba Empat, 2006) h. 12.
[2] Kasmir, Kewirausahaan, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Perkasa, 2007), h. 18.
University Press, 1994), h. 105-107.
[7] Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama, (Bandung : Mizan, 1998), h. 175.
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment