Tentang Komparasi Bank Syariah dan Bank Konvensional
A. Lembaga Keuangan di Indonesia
Lembaga keuangan adalah badan usaha yang kekayaannya terutama dalam bentuk aset keuangan atau tagihan (claims) dibandingkan aset non finansial atau aset riil. Lembaga keuangan memberikan kredit kepada nasabah dan menanamkan dananya dalam surat-surat berharga. Disamping itu, lembaga keuangan juga menawarkan berbagai jasa keuangan antara lain menawarkan berbagai jenis skema tabungan, proteksi asuransi, program pensiun, penyediaan sistem pembayaran dan mekanisme transfer dana. Lembaga keuangan merupakan bagian dari sistem keuangan dalam ekonomi modern yang melayani masyarakat pemakai jasa-jasa keuangan. Lembaga Keuangan yang ada di Indonesia secara singkat terbagi ke dalam 3 macam lembaga, yaitu: (a) Lembaga Keuangan Bukan Bank (b) Lembaga Keuangan Bank, (c) Bank Syariah.
1. Lembaga Keuangan Bukan Bank
Lembaga Keuangan Bukan Bank adalah adalah semua badan yang melakukan kegiatan bidang keuangan, yang secara langsung atau tidak langsung menghimpun dana terutama dengan jalan mengeluarkan kertas surat berharga dan menyalurkan ke masyarakat, terutama guna membiayai investasi perusahaan-perusahaan. Lembaga Keuangan Bukan Bank dalam menjalankan kegiatan usahanya umumnya bergerak pada sektor riil (non moneter), karena tidak diperkenankan untuk menghimpun dan menyalurkan dana secara langsung kepada masyarakat. Sumber dana yang diperoleh dari pemodal dan menyalurkan umumnya terkait dengan sektor riil.
Jenis-jenis lembaga keuangan bukan bank yang saat ini beroperasi di Indonesia, dibawah pengawasan dan pembinaan Departemen Keuangan adalah sebagai berikut:
a. Lembaga pembiayaan
Lembaga Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat. Perusahaan Pembiayaan (Finance Company) adalah badan usaha yang didirikan khusus untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha Lembaga Pembiayaan (kepres 61/1988, ps 1). Sebagai landasan hukum berdirinya Lembaga Pembiayaan adalah Keppres No 61 Tahun 1988, dan sesuai dengan Keppres tersebut Lembaga Pembiayaan melakukan kegiatan usaha yang meliputi antara lain bidang usaha:
1. Sewa Guna usaha (Leasing)
2. Modal Ventura (venture capital)
3. Anjak Piutang (Factoring)
4. Pembiayaan Consumen (Consumer Finance)
5. Kartu Kredit (Credit Card)
6. Perdagangan Surat Berharga (Securities Company)
Kegiatan usaha tersebut diatas dapat dilakukan oleh:
v Bank.
v Lembaga Keuangan Bukan Bank.
v Perusahaan Pembiayaan
b. Perasuransian
Landasan hukum asuransi diatur dalam Undang-undang nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Definisi asuransi menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian adalah :
“Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau leboh dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi, untuk memberikan penggatian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan” Menurut Undang-undang nomor 2 Tahun 1992 tentang usaha perasuransian, usaha asuransi terdiri atas:
1) Asuransi kerugian (non life insurance / general insurance)
2) Asuransi jiwa (life insurance)
3) Reasuransi (reinsurance)
c. Perusahaan Modal Ventura
Dalam Keppres No 61/1988 dijelaskan bahwa yang dimaksud Perusahaan Modal Ventua adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan yang menerima bantuan pembiayaan untuk jangka waktu tertentu. Jenis modal ventura adalah PMV Daerah, PMV Nasional, PMV Campuran (Keppres No 61 / 1988 dan Keputusan Menteri Keuangan No 1251 / 1988) dan sebagai sumber dana Ventura berasal dari Investor Perorangan, Investor Institusi, Perusahaan Asuransi dan Dana Pensiun, Perbankan, Lembaga Keuangan Internasional.
4) Dana pensiun
Undang-undang no. 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun menjelaskan yang dimaksud Dana Pensiun adalah badan hukum yang mengelola dan menjalankan program yang menjanjikan manfaat pension Dana pensiun merupakan suatu lembaga atau badan hukum yang mengelola program pensiun dengan tujuan untuk memberikan kesejahteraan kepada karyawan suatu perusahaan terutama yang telah pensiun. Sebagai landasan hukum dana pensiun adalah Undang - undang nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun.
5) Pasar Modal
Pasar modal dalam arti sempit adalah suatu tempat yang terorganisasi dimana efek-efek diperdagangkan yang disebut Bursa Efek. Bursa efek atau stock exchange adalah suatu sistem yang terorganisasi yang mempertemukan penjual dan pembeli efek yang dilakukan baik secara langsung maupun dengan melalui wakil - wakilnya. Fungsi Bursa efek ini antara lain adalah menjaga kontinuitas pasar dan menciptakan harga efek yang wajar melalui mekanisme permintaan dan penawaran.Selanjutnya definisi Pasar Modal menurut Kamus Pasar Uang dan Modal adalah pasar konkret atau abstrak yang mempertemukan pihak yang menawarkan dan yang memerlukan dana jangka panjang, yaitu jangka satu tahun keatsa. Abstrak dalam pengertian pasar modal adalah transaksi yang dilakukan melalui mekanisme over the counter (OTC). Sedangkan menurut David L. Scott, pasar modal adalah pasar untuk dana jangka panjang dimana saham biasam saham preferen dan obligasi diperdagangkan.
6) Pegadaian
Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1150 menjelaskan pengertian pegadaian sebagai berikut :
“Gadai adalah suatu hak yang diperoleh sesorang yang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada orang berpiutang itu untuk mengabil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari pada orang-orang beriputang lainnya, dengan pengecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan”
7) Perusahaan penjaminan
Perusahaan penjaminan didirikan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No 486/KMK.017/1996 tanggal 30 Juli 1996. Perusahaan penjaminan adalah perusahaan yang melakukan kegiatan dalam bentuk pemberian “Jasa Penjaminan” untuk menanggung pembayaran kewajiban keuangan si terjamin, apabila si terjamin tidak dapat memenuhi kewajiban perikatannya kepada penerima jaminan yang timbul dari transaksi Kredit, Sewa Guna Usaha, Anjak Piutang, Pembiayaan Konsumen dan Pembiayaan dengan Pola Bagi Hasil, serta Pembelian barang secara Angsuran
2. Lembaga Keuangan Bank
Kelompok lain dari Lembaga Keaungan adalah Keuangan Bank. Sesuai pengertian bank, Lembaga keuangan ini dapat menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan dana kepada masyarakat secara langsung. Pada umumnya fungsi bank adalah menghubungkan (mediasi) pihak yang kelebihan dana (deposan) dan pihak yang kekurangan dana (debitur). Lembaga Keuangan Bank tidak diperkenankan untuk melakukan kegiatan usaha diluar dari kegiatan pokoknya (core business) yaitu uang. Dalam Perbankan (konvensional) uang merupakan barang komoditi (barang yang diperdagangkan). Bank membeli uang dari deposan dan menjual kembali uang tesebut kepada pihak yang membutuhkan dana (debitur). Pada saat membeli dari pemodal (deposan) diberikan imbalan bunga yang ditetapkan dimuka, dan imbalan tersebut merupakan salah satu komponen harga pokok saat jual ke debitur. Oleh karena itu Lembaga Keuangan Bank sering dikatakan bergerak pada bidang keuangan atau moneter Sedangkan dalam Undang-undang nomor 10 tahun 1998 pasal 1 pengertian bank, yaitu:
“Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakah dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.” Jenis jenis perbankan menurut pasal 5 Undang-undang nomor 7 tahun 1992 adalah:
1. Bank Umum, yaitu adalah bank yang dapat memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. (pasal 1 undang-undang no 7 / 1992 tentang perbankan)
2. Bank Perkreditan Rakyat, adalah bank yang menerima simpanan hanya dalam bentuk deposito berjangka, tabungan dan atau bentuk lain yang dipersamakan dengan hal itu (pasal 1 undang-undang no. 7 tahun 1992 tentang perbankan)
B. Pengertian dan Landasan Hukum Bank Syariah
1. Pengertian bank syariah
Dalam Undang-undang nomor 21 tahun 2008 pasal 1 memberikan penjelasan dan pengertian antara lain sebagai berikut:
a. Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.”
b. Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
c. Bank Umum Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
d. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
e. Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS, adalah unit kerja dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu Bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah.
2. Landasan Hukum Perbankan Syariah
Berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan tersebut pemerintah mengeluarkan dua ketentuan perbankan syarian yaitu:
a. Peraturan Pemerintah nomor 72 tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Bagi Hasil. Sehingga undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan dan Peraturan Pemerintah tersebut sebagai landasan hukum berdirinya Bank Umum Syariah.
b. Peraturan Pemerintah nomor 73 tahun 1992 tentang Bank Perkreditan rakyat Berdasarkan Bagi Hasil. Sehingga undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan dan Peraturan Pemerintah tersebut sebagai landasan hukum berdirinya Bank Perkreditan Rakyat dalam periode ini.
Dari pengalaman dan kajian yang dilakukan ternyata bank syariah memiliki karakteristik yang berdeda dengan bank konvensional, maka Undang-undang nomor 7 tentang perbankan disempurnakan dengan undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 tentang Perbankan. Dalam Undang-undang nomor 10 tahun 1998 tersebut telah dibahas ketentuan-ketentuan bank syariah misalnya:
a. dalam pasal 1 angka 13 disebutkan ” prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan usaha lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain, pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan marang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan cpermindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina)
b. pasal 6 huruf m ” menyediakan pembiayaan dan/atau melakukan kegiatan lain berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.” Dalam penjelasan pasal ini disebutkan ”pokok-pokok ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia memuat antara lain:
1) Kegiatan usaha dan produk-produk bank berdasarkan prinsip syariah
2) pembentukan dan tugas Dewan Pengawas Syariah
3) persyaratan bagi pembukaan kantor cabang yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsi syariah.
c. masih banyak pasal pasal lain yang mengatur tentang perbankan syariah Mulai tahun 2008 perbankan syariah di Indonesia memiliki Undang-undang tersendiri, yaitu Undang-undang nomo 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Undang-undang ini secara lengkap sebagaimana tercantum dalam lampiran buku ini. Bank Syariah yang didirikan dan/atau menjalankan kegiatan usahanya mulai tahun 2008, sudah tentu berdasarkan Undang-Undang nomor 21 dan seluruh peraturan pelaksanaannya. Ketentuan-ketentuan yang diatur berdasarkan Undang-undang nomor 10 tahun 1998 dan peraturan pelaksanaannya tetap berlaku sepanjang tidak bertentang dengan ketentuan Undang- undang nomor 21 tahun 2008. Hal ini sesuai ketentuan dalam pasal 69 undang-undang tersebut yaitu:
”Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, segala ketentuan mengenai Perbankan Syariah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790) beserta peraturan pelaksanaannya dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.”
C. Kelompok Bank Syariah
Dalam Undang-undang 10 Tahun 1998, jenis bank dikelompokkan menjadi Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat. Bank syariah dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu: yang dalam Undang-undang nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah diganti dengan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
1. Bank Umum Syariah
Sampai dengan tahun 2008 yang dikategorikan sebagai Bank Umum Syariah adalah:
a. Bank Muamalat Indonesia (BMI),
b. Bank Syariah Mandiri (BSM), hasil konversi syariah Bank Susila Bhakti
c. Bank Syariah Mega Indonesia (BSMI), hasil konversi syariah Bank Tugu.
d. Bank Syariah Bukopin (Bukopin Syariah) yang merupakan konversi dari Bank Perserikatan Indonesia, dan gabungan Unit Usaha Syariah Bukopin.
e. Bank Syariah BRI (BRI Syariah) yang merupakan konversi dari Bank Jasa Artha dan gabungan Unit Usaha Syariah BRI.
f. Bank Syariah Panin (Panin Syariah) yang merupakan konversi dari bank Arva
g. Bank Syariah Victoria (Victoria Syariah) yang merupakan konversi bank Swaguna.
h. Bank Syariah BCA (BCA Syariah) yang merupakan konversi bank UIB
i. Bank Syariah Jabar Banten (BJB Syariah) yang merupakan pemisahan Unit Usaha Syariah Bank Jabar Banten
j. Bank Syariah BNI (BNI Syariah) yang merupakan pemidahan Unit Usaha Syariah Bank BNI
k. Maybank Syariah yang merupakan konversi dari bank Maybank konvensional
Dikategorikan Bank Umum Syariah jika seluruh struktur organisai bank tersebut tunduk pada ketentuan syariah, baik dari kantor pusat sampai dengan kantor layanan baik bawah dari entitas tersebut seluruhnya melaksanakan kegiatan syariah. Bank Umum Syariah wajib memilik Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang ditempatkan di kantor pusat bank dan sesuai fungsinya sebagai pengawas dari aspek syariah pelaksanaan perbankan syariah, maka struktur organisasinya harus dibuat sedemikian rupa sehingga merupakan unit kerja yang independen, tidak dipengaruhi atau tidak di intervensi oleh pengurus (dewan direksi) dan pelaksana bank atau pihak lain.
2. Cabang Syariah Bank Konvensional (Unit Usaha Syariah)
Dalam kelompok ini kategori Banknya adalah Bank Umum yaitu Bank Umum Konvensional yang memiliki usaha syariah, sehingga sering disebut dengan Unit Usaha Syariah (UUS). Dalam organisasinya pada tingkat direksi dan keatasnya menjadi satu dengan Bank Konvensional, dan satu tingkat dibawah direksi sampai unit kerja paling bawah memiliki pemisahkan fungsi menjalankan kegiatan usaha konvensional dan menjalankan kegiatan usaha syariah (lihat struktur organisasi Cabang Syariah Bank Konvensional). Dikategorikan Cabang Syariah bank Konvensional (sering disebut dengen Unit Usaha Syariah / UUS) adalah entitas tersebut menjalankan dua kegiatan usaha bank, yaitu kegiatan usaha konvensional dan kegiatan usaha berdasarkan prinsip usaha syariah. Contoh Cabang Syariah dari Bank Konvensional seperti BTN Syariah, Bank Jabar Syariah, Bank BNI Syariah, BRI Syariah (sebelum memisahkan diri dari induknya) dsb. Dalam Undang-undang nomor 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah kedudukan, fungsi dan kegiatan usaha dari Unit Usaha Syariah diatur tersendiri sebagaimana layaknya fungsi dan kegiatan usaha dari Bank Umum Syariah, walaupun secara organisasi Unit Usaha Syariah merupakan bagian dari Bank Umum yang menjalankan kegiatan usaha konvensional. Dari kedua struktur oganisasi tersebut diatas terdapat unit kerja atau fungsi spesifik yang ada yaitu: Dewan Pengawas Syariah dan Unit Usaha Syariah yang perlu dijelaskan lebih rinci disamping fungsi lain yang saat ini ada pada perbankan syariah yaitu Unit Syariah dan Layanan Syariah.
3. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPR-Syariah)
Kelompok ini adalah Bank Perkreditan Rakyat yang menjalankan kegiatan usaha sesuai prinsip syariah. Sudah banyak BPR- Syariah berdiri dan berkembang di seluruh Indonesia. Undang-undang 21 Tahun 2008 merupakan undang-undang untuk Bank Syariah, sehingga seluruh ketentuannya membahas tentang Bank Syariah. Berkaitan dengan kelompok Bank Syariah mempertegas pembentukan, kegiatan usaha yang diperkenankan dan yang dilarang oleh Unit Usaha Syariah. Sedangkan Bank Perkreditan Rakyat diganti dengan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPR-Syariah). Dalam undang-undang tersebut tegas membedakan kelompok bank syariah sebagai (1) Bank Umum Syariah (2) Unit Usaha Syariah dan (3) Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Secara lengkap Undang-undang nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah tersebut tercantum dalam lampiran tulisan ini. Dalam struktur organisasi bank syariah, baik bank umum syariah, Unit Usaha Syariah Bank Konvensional, dan BPR Syariah harus memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) dan khusus untuk Unit Usaha Syariah Bank Konvensional selain harus memiliki Dewan Pengawas Syariah harus membentuk unit kerja khusus yang disebut dengan ”Unit Usaha Syariah” (UUS). Kedua unit kerja tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a) Dewan Pengawas Syariah (DPS)
Dewan Pengawas Syariah adalah badan independen yang ditempatkan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) pada bank. Anggota DPS harus terdiri dari para pakar di bidang syariah muamalah yang juga memiliki pengetahuan umum bidang perbankan. Dalam pelaksanaan tugas sehari-hari, DPS wajib mengikuti fatwa DSN yang merupakan otoritas tertinggi dalam mengeluarkan fatwa mengenai kesesuaian produk dan jasa bank dengan ketentuan prinsip syariah. Tugas utama DPS adalah mengawasi kegiatan usaha bank agar tidak menyimpang dari ketentuan dan prinsip syariah yang telah difatwakan oleh DSN. Selain itu DPS juga mempunyai fungsi sebagai berikut:
1) sebagai penasehat dan pemberi saran kepada direksi, pimpinan Unit Usaha Syariah dan pimpinan kantor cabang syariah mengenai hal-hal yang terkait dengan aspek syariah.
2) sebagai mediator antara bank dan DSN dalam mengkomunikasikan usul dan saran pengembangan produk dan jasa dari bank yang memerlikan kajian dan fatwa dari DSN.
3) sebagai perwakilan DSN yang ditempatkan pada bank. DPS wajib melaporkan kegiatan usaha serta perkembangan bank syariah yang diawasinya kepada DSN sekurangkurangnya satu kali dalam satu tahun.
Dalam Undang-undang nomor 21 tahun 2008, pasal 32 diatur tentang Dewan Pengawas Syariah sebagai berikut:
1) Dewan Pengawas Syariah wajib dibentuk di Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS.
2) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia.
3) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan Bank agar sesuai dengan Prinsip Syariah.
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
b) Unit Usaha Syariah
Unit Usaha Syariah diatur dalam Peraturan Bank Indonesia nomor 11/10/PBI/2009 tentang Unit Usaha Syariah yang mengatur pokok-pokok sebagai berikut:
1. Pengertian
a) Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disebut UUS adalah unit kerja dari BUK yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah;
b) Perizinan pembukaan Unit Usaha Syariah
1) Pasal 2
Ø BUK yang akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah wajib membuka UUS.
Ø Rencana pembukaan UUS harus dicantumkan dalam rencana bisnis BUK.
2) Pasal 3
Ø Pembukaan UUS hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia.
Ø Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk izin usaha.
3) Pasal 4
Ø Modal kerja UUS ditetapkan dan dipelihara paling kurang sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus milyar rupiah).
Ø Modal kerja UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disisihkan dalam bentuk tunai.
c. Direktur Unit Usaha Syariah, Dewan Pengawas Syariah, Pejabat Eksekutif
1) Direktur Unit Usaha Syariah
a) Pasal 8
Ø Penunjukan dan/atau penggantian Direktur yang bertanggung jawab penuh terhadap UUS (Direktur UUS) wajib dilaporkan oleh BUK paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pengangkatan dan/atau penggantian efektif.
2) Direktur UUS sebagaimana dimaksud pada ayat
Ø dapat merangkap tugas BUK lainnya sepanjang tidak menimbulkan benturan kepentingan (conflict of interest).
3) Direktur UUS wajib memiliki kompetensi dan komitmen dalam pengembangan UUS.
4) Direktur UUS wajib mengikuti proses wawancara.
5) Dalam hal Direktur UUS dinilai kurang memiliki kompetensi dan komitmen dalam pengembangan UUS, maka penunjukan tersebut wajib ditinjau kembali.
d. Kegiatan Usaha
1) Pasal 17
UUS wajib melaksanakan kegiatan usaha sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perbankan Syariah dengan menerapkan Prinsip Syariah dan prinsip kehati-hatian.
2) Pasal 18
UUS dapat melakukan kegiatan usaha perbankan syariah dalam bidang devisa dengan izin Bank Indonesia.
e. Layanan Syariah
(1) Pasal 25
Ø Rencana pelaksanaan Layanan Syariah harus dicantumkan dalam rencana bisnis UUS.
Ø Layanan Syariah dapat dilaksanakan di kantor cabang atau kantor cabang pembantu BUK.
Ø Kegiatan Layanan Syariah wajib tercatat secara otomasi dan online dengan laporan keuangan KCS induknya pada hari kerja yang sama.
b. Pasal 26
Ø Pembukaan, pemindahan alamat dan penutupan Kegiatan Layanan Syariah wajib dilaporkan oleh UUS kepada Bank Indonesia secara semesteran untuk posisi akhir bulan Juni dan Desember.
Ø Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah akhir bulan laporan.
f. Pemisahan Unit Usaha Syariah
1) Pemisahan Unit Usaha Syariah Dari Bank Umum Konvensional
a. Pasal 40
a) BUK yang memiliki UUS wajib memisahkan UUS menjadi BUS apabila:
Ø nilai aset UUS telah mencapai 50% (lima puluh persen) dari total nilai aset BUK induknya; atau
Ø paling lambat 15 (lima belas) tahun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
b) BUK yang memiliki UUS dapat memisahkan UUS sebelum terpenuhinya kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
b. Dan juga yang seperti yang tertera pada beberapa pasal lainnya seperti: Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, dan Pasal 44.
2) Pemisahan Unit Usaha Syariah Dengan Cara Pendirian Bank Umum Syariah
a. Pasal 45
Ø Pendirian BUS hasil Pemisahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf a hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia.
Ø Modal disetor pendirian BUS hasil Pemisahan ditetapkan paling kurang sebesar Rp500.000.000.000,00 (lima ratus milyar rupiah).
Ø Apabila jumlah modal disetor tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka penambahan atas kekurangan modal disetor tersebut harus dilakukan dalam bentuk tunai dan/atau tanah dan gedung yang akan digunakan untuk operasional BUS hasil Pemisahan.
Ø Modal disetor BUS hasil Pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib ditingkatkan secara bertahap menjadi paling kurang sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu trilyun rupiah) paling lambat 10 (sepuluh) tahun setelah izin usaha BUS diberikan.
b. Dan pasal lainnya, seperti: Pasal 46, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, dan Pasal 51
D. Fungsi Bank Syariah
Dalam Undang-undang nomor 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah, pasal 4 dijelaskan fungsi bank syariah sebagai berikut:
1. Bank Syariah dan UUS wajib menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat.
2. Bank Syariah dan UUS dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat.
3. Bank Syariah dan UUS dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif).
4. Pelaksanaan fungsi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Untuk memberikan gambaran yang lengkap dan rinci mengenai fungsi-fungsi tersebut berikut dilakukan pembahasan satu persatu fungsi itu.
1. Fungsi Manager Investasi.
Salah satu fungsi bank syariah yang sangat penting Bank Syariah adalah manager Investasi. Bank syariah merupakan manager investasi dari pemilik dana (shahibul maal) dari dana yang dihimpun dengan prinsip mudharabah (dalam perbankan lazim disebut dengan deposan atau penabung), karena besar-kecilnya imbalan (bagi hasil) yang diterima oleh pemilik dana, sangat tergantung pada hasil usaha yang diperoleh (dihasilkan) oleh bank syariah dalam mengelola dana (khususnya dana mudharabah). Hal ini sangat dipengaruhi oleh keahlian, kehati-hatian, dan profesionalisme dari bank syariah sebagai manajer investasi (pihak yang mengelola dana). Bank syariah dapat menghimpun dana yang besar, kemudian dalam penyaluran dana dilakukan tidak efektif, kurang memperhatikan prinsip-prinsip kehati-hatian, sembarangan sehingga banyak yang macet atau banyak yang diketagorikan bermasalah (non performing), banyaknya penyaluran dana yang tidak melakukan pembayaran angsuran, maka membawa dampak hasil usaha yang diikuti aliran kas masuk (cash basis) hanya kecil atau sedikit yang diterima. Dengan adanya hasil usaha yang cash basis kecil maka pendapatan yang akan dibagi antara bank syariah dan shahibul maal juga kecil, yang akhirnya membawa dampak kecilnya bagi hasil yang diterima oleh pemilik dana (shahibul maal). Begitu sebaliknya penyaluran dana yang tidak besar, namun dilakukan dengan efektif, efesien dan produktif, dan kualitas penyaluran dana yang baik sehingga banyak debitur yang melakukan pembayaran angsuran atau pembayaran bagi hasil yang diterima dari nasabah pengelola dana (mudharib) banyak, akan membawa dampak pada hasil usaha yang akan dibagi antara bank syariah sebagai pengelola dana dan pemilik dana juga besar, yang mengakibatkan pendapatan bagi hsail diterima pemilik dana besar juga.
2. Fungsi Investor.
Dalam penyaluran dana, baik dalam prinsip bagi hasil (mudharabah dan musyarakah), prinsip Ujroh( Ijarah) dan prinsip jual beli (murabahah, salam dan istishna), bank syariah berfungsi sebagai investor (sebagai pemilik dana). Oleh karena sebagai pemilik dana maka dalam menanamkan dana dilakukan dengan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan dan tidak melanggar syariah, ditanamkan pada sektor-sektor produktif dan mempunyai risiko yang sangat minim. Keahlian, profesionalisme sangat diperlukan dalam menangani penyaluran dana ini, penerimaan pendapatan dan kualitas aktiva produktif yang sangat baik menjadi tujuan yang penting dalam penyaluran dana, karena pendapatan yang diterima dalam penyaluran dana inilah yang akan dibagikan kepada pemilik dana (deposan atau penabung mudharabah). Jadi fungsi ini sangat terkait dengan fungsi bank syariah sebagai manajer investasi.
3. Fungsi Jasa perbankan.
Dalam menjalankan fungsi ini, bank syariah tidak jauh berbeda dengan bank non syariah, seperti misalnya memberikan layanan kliring, transfer, inkaso, pembayaran gaji dan sebagainya, hanya saja yang sangat diperhatikan adalah adalah prinsip-prinsip syariah yang tidak boleh dilanggar. Bank syariah memberikan jasa transfer, inkaso, kliring dengan prinsip wakalah; menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat-surat berharga berdasarkan prinsip wadi’ah yad amanah; memberikan layanan letter of credit (L/C) dengan prinsip wakalah, memberikan layanan bank garansi dengan prinsip kafalah; melakukan kegiatan wali amanat dengan prinsip wakalah, memberikan layanan penukaran uang asing dengan prinsip sharf dan sebagainya.
4. Fungsi sosial.
Dalam konsep perbankan syariah mengharuskan bank-bank syariah memberikan pelayanan sosial apakah melalui dana Qard (pinjaman kebajikan) atau Zakat dan dana sumbangan sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Disamping itu, konsep perbankan Islam juga mengharuskan bank-bank syariah untuk memainkan peran penting di dalam pengembangan sumber daya manusianya dan memberikan kontribusi bagi perlindungan dan pengembangan lingkungan. Fungsi ini juga yang membedakan fungsi bank syariah dengan bank konvensional, walaupun hal ini ada dalam bank konvensional biasanya dilakukan oleh individu-individu yang mempunyai perhatian dengan hal sosial tersebut, tetapi dalam bank syariah fungsi sosial merupakan salah satu fungsi yang tidak dapat dipisahkan dengan fungsi-fungsi yang lain. Bank syariah harus memegang amanah dalam menerima ZIS atau dana kebajikan lainnya dan menyalurkan kepada pihak-pihak yang berhak untuk menerimanya dan atas semua itu haruslah dibuatkan laporan sebagai pertanggungan jawab dalam pemegang amanah tersebut.
E. Karakteristik Lainnya Bank Syariah
Selain yang telah dijelaskan diatas masih banyak karakteristik bank syariah lain yang perlu digali, antara lain karakteristik yang berkaitan dengan implementasi ekonomi syariah yang memiliki karakteristik seperti dibawah:
1. Menghindari Maghrib
Bank syariah daalam melaksanaka kegiatan usahanya harus menghindari Maghrib, yaitu Maisir, Gharar, Riba dan Bathil yang telah dijelaskan dalam penjelasan pasal 2 Undang-undang 21 Tahun 2008 sebagai berikut:
a) riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan (fadhl), atau dalam transaksi pinjam-meminjam yang mempersyaratkan Nasabah Penerima Fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasi'ah);
b) maisir, yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan bersifat untung-untungan;
c) gharar, yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah;
d) haram, yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah; atau
e) zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya. Dalam mencapai tujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional, Perbankan Syariah tetap berpegang pada Prinsip Syariah secara menyeluruh (kaffah) dan konsisten (istiqamah).
2. Titik pandang uang pada Bank Syariah
Perubahan paradigma tentang uang dalam perbankan syariah bukanlah hal yang mudah, karena sudah beratus-ratus tahun paradigma yang terjadi diperbankan bahwa uang sebagai komoditi, karena kegiatan usahanya dilakukan di bidang keuangan. Dalam perbankan syariah, khususnya dalam konsep ekonomi Islam, uang hanya sebagai ”alat tukar” dan ”satuan pengukur nilai” bukan sebagai komoditas. Untuk memperoleh hasil Bank Syariah harus nyata-nyata kerja seperti melakukan jual beli (murabahah, salam dan istishna) menyewakan suatu obyek sewa (Ijarah, IMBT, Multijasa) dan melakukan investasi kepada pihak yang memiliki usaha (mudharabah, musyarakah). Secara konsep Bank Syariah tidak diperkenankan memperoleh hasil akibat penggunaan uang sebagaimana dilakukan oleh Bank Konvensional.
3. Imbalan kepada Pemodal pada Bank Syariah
Pembayaran imbalan kepada pemilik dana yang dihimpun (shahibul maal) bank syariah tidak sama dengan pembayaran imbalan kepada pemilik dana bank konvensional (yang lazim disebut dengan deposan atau penabung). Bank konvensional memberikan imbalan kepada para deposannya dalam bentuk bunga dalam jumlah tetap dan ditentukan dimuka, tidak dipengaruhi oleh risiko atau masalah yang dihadapi oleh bank konvensional, sedangkan imbalan pemilik dana (shahibul maal) bank syariah sangat tergantung pada pendapatan yang diperoleh oleh bank syariah sebagai mudharib dalam pengelolaan dana mudharah, bank syariah tidak diperkenankan memberikan imbalan dalam jumlah yang telah ditentukan didepan.
4. Paradigma Transaksi Syariah
Dalam melaksanakan transaksi syariah, hendaknya mempergunakan paradigm sebagai berikut:
a) Transaksi syariah berlandaskan pada paradigma dasar bahwa alam semesta dicipta oleh Tuhan sebagai amanah (kepercayaan ilahi) dan sarana kebahagiaan hidup bagi seluruh umat manusia untuk mencapai kesejahteraan hakiki secara material dan spiritual (al-falah).
b) Paradigma dasar ini menekankan setiap aktivitas umat manusia memiliki akuntabilitas dan nilai illahiah yang menempatkan perangkat syariah dan akhlak sebagai parameter baik dan buruk, benar dan salahnya aktivitas usaha. Paradigma ini akan membentuk integritas yang membantu terbentuknya karakter tata kelola yang baik (good governance) dan disiplin pasar (market discipline) yang baik.
c) Syariah merupakan ketentuan hukum Islam yang mengatur aktivitas umat manusia yang berisi perintah dan larangan, baik yang menyangkut hubungan interaksi vertikal dengan Tuhan maupun interaksi horisontal dengan sesama makhluk.
5. Asas Transaksi Syariah
Azas-azas transaksi syariah yang harus dipenuhi oleh Bank Syariah dalam menjalankan kegiatan usahanya adalah sebagai berikut:
a) Transaksi syariah berasaskan pada prinsip:
ü persaudaraan (ukhuwah);
ü keadilan (‘adalah);
ü kemaslahatan (maslahah);
ü keseimbangan (tawazun); dan
ü universalisme (syumuliyah).
b) Prinsip persaudaraan (ukhuwah) esensinya merupakan nilai universal yang menata interaksi sosial dan harmonisasi kepentingan para pihak untuk kemanfaatan secara umum dengan semangat saling tolong menolong.
c) Prinsip keadilan (‘adalah) esensinya menempatkan sesuatu hanya pada tempatnya dan memberikan sesuatu hanya pada yang berhak serta memperlakukan sesuatu sesuai posisinya Implementasi keadilan dalam kegiatan usaha berupa aturan prinsip muamalah yang melarang adanya unsur riba, kezaliman, maysir, gharar dan haram.
d) Prinsip kemaslahatan (mashlahah) esensinya merupakan segala bentuk kebaikan dan manfaat yang berdimensi duniawi dan ukhrawi, material dan spiritual, serta individual dan kolektif.
Transaksi syariah yang dianggap bermaslahat harus memenuhi secara keseluruhan unsur-unsur yang menjadi tujuan ketetapan syariah (maqasid syariah) yaitu berupa pemeliharaan terhadap:
ü akidah, keimanan dan ketakwaan (dien);
ü akal (‘aql);
ü keturunan (nasl);
ü jiwa dan keselamatan (nafs); dan
ü harta benda (mal).
ü Prinsip keseimbangan (tawazun)
ü Prinsip universalisme (syumuliyah)
ü Transaksi syariah terikat dengan nilai-nilai etis meliputi aktivitas sektor keuangan dan sektor riil yang dilakukan secara koheren tanpa dikotomi sehingga keberadaan dan nilai uang merupakan cerminan aktivitas investasi dan perdagangan.
6. Karakteristik Transaksi Syariah
Transaksi atau kegiatan usaha yang dilakukan bank syariah harus memenuhi karakteristik transaksi syariah sebagai berikut:
a. Implementasi transaksi yang sesuai dengan paradigma dan asas transaksi syariah harus memenuhi karakteristik dan persyaratan sebagai berikut:
1) transaksi hanya dilakukan berdasarkan prinsip salin paham dan saling ridha;
2) prinsip kebebasan bertransaksi diakui sepanjang objeknya halal dan baik (thayib);
3) uang hanya berfungsi sebagai alat tukar dan satuan pengukur nilai, bukan sebagai komoditas;
4) tidak mengandung unsur riba; kezaliman; maysir; gharar; haram;
5) tidak menganut prinsip nilai waktu dari uang (time value of money) karena keuntungan yang didapat dalam kegiatan usaha terkait dengan risiko yang melekat pada kegiatan usaha tersebut sesuai dengan prinsip al-ghunmu bil ghurmi (no gain without accompanying risk)
6) transaksi dilakukan berdasarkan suatu perjanjian yang jelas dan benar serta untuk keuntungan semua pihak tanpa merugikan pihak lain sehingga tidak diperkenankan menggunakan standar ganda harga untuk satu akad serta tidak menggunakan dua transaksi bersamaan yang berkaitan (ta’alluq) dalam satu akad; tidak ada distorsi harga melalui rekayasa permintaan (najasy), maupun melalui rekayasa penawaran (ihtikar); dan
7) tidak mengandung unsur kolusi dengan suap menyuap (risywah).
b. Transaksi syariah dapat berupa aktivitas bisnis yang bersifat komersial maupun aktivitas sosial yang bersifat nonkomersial. Transaksi syariah komersial dilakukan antara lain berupa: investasi untuk mendapatkan bagi hasil; jual beli barang untuk mendapatkan laba; dan atau pemberian layanan jasa untuk mendapatkan imbalan.
c. Transaksi syariah nonkomersial dilakukan antara lain berupa: pemberian dana pinjaman atau talangan (qardh); penghimpunan dan penyaluran dana sosial seperti zakat, infak, sedekah, wakaf dan hibah.
F. Bidang Kegiatan Usaha Bank Syariah
Sebelum membahas lebih dalam tentang bidang kegiatan usaha perbankan syariah, sebagaimana telah dibahas dimuka pembagian Lembaga Keuangan yang ada di Indonesia, dikelompokkan dalam yaitu:
1. Lembaga Keuangan Bukan Bank
Yang dikelompokan sebagai Lembaga Keuangan Bukan Bank yaitu antara lain Leasing, Factoring (anjak piutang), Consumer Financing, Asuransi, Modal Ventura, Dana Pensiun, Pegadaian, Perusahan Penjaminan. Lembaga ini dibawah pembinaan dan pengawasan dari Departemen Keuangan. Lembaga ini tidak diperkenankan untuk menghimpun dana langsung dari masyarakat sehingga sumber dananya umumnya dari Bank atau pemodal lainya. Secara umum Lembaga ini bergerak pada sektor riil.
2. Lembaga Keuangan Bank
Yang dikelompokan Lembaga ini adalah Bank Umum dan BPR. Lembaga ini dibawah pembinaan dan pengawasan Bank Indonesia. Secara umum Lembaga Keuangan Bank bergerak dalam bidang keuanga (sektor moneter). Sesuai ketentuan Bank Indonesia, Bank tidak diperkenankan untuk menjalankan kegiatan usaha diluar dari core business-nya yaitu bidang keuangan. Sesuai ketentuan Bank Indonesia, perbankan tidak diperkenankan melaksanakan kegiatan usaha diluar dari bisnis pokoknya (core business) yaitu bidang keuangan.
Sering timbul pertanyaan dimana kelompok Bank Syariah, Untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut dibawah diberikan gambaran kegiatan usaha Bank Syariah dibandingkan dengan Lembaga Keuangan Non Bank lainnya, seperti misalnya perusahaan leasing, multifinance, pegadaian dan sebagainya.
1) Leasing - Ijarah
Bank konvensional tidak pernah melakukan transaksi sewa (leasing), karena transaksi leasing merupakan kegiatan usaha perusahaan leasing. Seperti dijelaskan diatas Bank tidak diperkenankan untuk menjalankan kegiatan usaha diluar bisnis pokoknya, yaitu bidang keuangan. Bank Konvensional tidak diperkenankan melaksanakan kegiatan usaha penyewaan barang (leasing) karena transaksi leasing merupakan transaksi bukan bidang keuangan karena didalam transaksi leasing perusahaan leasing menyediakan barang untuk dilakukan beli sewa. Bank Syariah dapat menyewakan barang dengan mempergunakan akad Ijarah.
2) Anjak Piutang - Hawalah / Hiwalah
Hal ini tidak berbeda dengan leasing diatas. Bank Konvensional tidak diperkenankan untuk melakukan transaksi transaksi anjak piutang karena transaksi tersebut merupakan kegiatan usaha perusahaan anjak piutang. Bank Syariah diperkenankan untuk melakukan transaksi anjak piutang dengan akad Hawalah atau Hiwalah tujuan tolong menolong. Dalam perusahaan anjak piutang umum dilakukan dengan sistem diskonto. Sedangkan pada Bank Syariah sifatnya tolong menolong dan tidak diperkenankan menggunakan sistem diskonto. Karakteristik Hawalah atau Hiwalah secara lengkap dan rinci dapat dilihat pada Jasa Layanan Bank Syariah tentang Hawalah dalam bab berikutnya ini:
3) Consumer Financing - Murabahah
Beberapa contoh perusahaan consumer financing adalah Adira, FIF, Colombia, Sumber Kredit dimana dalam melakukan transaksi dari perusahaan ini konsumennya menerima barang yang pembayarannya dapat dilakukan dengan tunai atau dengan tangguh /cicilan. Bank konvensional tidak diperkenankan menjalankan transaksi ini, tetapi dalam Bank Syariah diperkenankan dengan akad Murabahah. Sesuai ketentuan syariah yang ada Murabahah merupakan transaksi jual beli barang (bukan uang), nasabah sebagai pembeli menerima barang bukan menerima uang. Oleh karena Bank Syariah sebagai penjual maka bank syariah diperkenankan untuk menentukan dan melakukan negosiasi keuntungan dan harga jual barang. Hal ini sama dengan consumer financing dimana nasabahnya menerima barang (bukan uang).
4) Pegadaian – Rahn
Jelas Bank Konvensional tidak diperkenankan untuk menjalankan transaksi pegadaian karena ini merupakan kegiatan usaha perusahaan pegadaian, tetapi dalam Bank Syariah diperkenankan untuk melaksanakan kegiatan usaha pedagaian dengan akad Rahn. Masih banyak kegiatan usaha Bank Syariah yang tidak ada dalah Bank Konvesional namun dilaksanakan dalam kegiatan usaha Lembaga Keuangan Non Bank yang umumnya dikatakan bergerak dalam sektor riil. Jadi kesimpulannya, jika memperhatikan ketentuan syariah yang ada Bank Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya tidak membedakan bergerak pada sektor keuangan (moneter) atau sektor riil. Kegiatan usaha Bank Syariah jauh lebih luas dibandingkan dengan Bank konvensional, sehingga sangat disayangkan jika selalu disetarakan dengan Bank Konvensional. Titik pandang ”adanya perbedaan terdapat peluang” itulah seharusnya dipergunakan sebagai motivasi, kreativitas dan pendorong kemajuan bank syariah. Jika selalu membandingkan dan mensetarakan Bank Syariah dan Bank Konvensional maka memerlukan ratusan tahun untuk bisa mencapai kebesarannya seperti bank konvensioal sekarang.
G. Alur Operasional Bank Syariah
Bank Umum Syariah (BUS), Kantor Cabang Syariah bank konvesional/Unit Usaha Syariah (UUS), Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS), dari alur operasional dan konsep syariahnya tidaklah berbeda. Secara umum alur operasional bank syariahadalah sebagai berikut:
1. Dalam penghimpunan dana bank syariah, yang diperhatikan bukan nama produknya namun prinsip syariah yang dipergunakan, dimana saat ini mempergunakan dua prinsip yaitu:
a) prinsip wadiah yad dhamanah yang diaplikasikan pada giro wadiah dan tabungan wadiah dan
b) prinsip mudharabah mutlaqah yang diaplikasikan pada produk deposito mudharabah dan tabungan mudharabah.
2. Dana bank syariah yang dihimpun, disalurkan dengan pola-pola penyaluran dana yang dibenarkan syariah. Secara garis besar penyaluran bank syariah dilakukan dengan tiga pola penyaluran yaitu:
a) prinsip jual beli yang meliputi murabahah, salam dan salam paralel, istishna dan istishna paralel,
b) prinsip bagi hasil yang meliputi pembiayaan mudharabah dan pembiayaan musyarakah dan
c) prinsip ujrah yaitu ijarah dan ijarah muntahiayah bitamllik.
3. Atas penyaluran dana tersebut akan diperoleh pendapatan yaitu dalam prinsip jual beli lazim disebut dengan margin atau keuntungan dan prinsip bagi hasil akan menghasilkan bagi hasil usaha serta dalam dalam prinsip ujroh akan memperoleh upah (sewa). Pendapatan dari penyaluran dana ini disebut dengan pendapatan operasi utama, merupakan pendapatan yang akan dibagi-hasilkan, pendapatan yang merupakan unsur pembagian hasil usaha (profit distribution). Disamping itu bank syariah memperoleh pendapatan operasi lainya yang berasal dari pendapatan jasa perbankan, yang merupakan pendapatan sepenuhnya milik bank syariah.
4. Dari pendapatan operasi utama yang penerimaannya benar-benar terjadi (cash basis) inilah yang akan dibagi hasilkan antara pemilik dana dan pengelola dana. Secara prinsip pendapatan yang akan dibagi hasilkan antara pembilik dana dengan pengelola dana adalah pendapatan dari penyaluran dana yang sumber dananya berasal dari mudharabah mutaqlah.
5. Pendapatan bank syariah tidak hanya dari bagian pendapatan pengelolaan dana mudharabah saja tetapi ada pendapatan-pendapatan yang lain yang menjadi hak sepenuhnya bank syariah, diman pendapatan-pendapatan tersebut tidak dibagi hasilkan antara pemilik dan pengelola dana (bank). Pendapatan-pendapatan tersebut antara lain pendapatan yang berasal dari fee base income, misalnya pendapatan atas fee kliring, fee transfer, fee inkaso, fee pembayaran payroll dan fee lain dari jasa layanan yang diberikan oleh bank syariah. Disamping itu pendapatan yang menjadi milik bank syariah sepenuhnya adalah pendapatan dari mudharabah muqayyadah dimana bank syariah bertindak sebagai agen.
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment