Indexia

Learning to appreciate a process for a change
Powered by Blogger.

Glosarium Perbankan Syariah ( Daftar Istilah dan Singkatan dalam Perbankan Syariah)

1 comment
Perbankan adalah institusi yang penuh dengan regulasi dan ketentuan. Pelaksanaan regulasi tersebut menggunakan banyak istilah yang semakin kompleks dan beragam. Akibatnya, bukan hanya pihak luar, tetapi bahkan orang-orang di kalangan perbankan sendiri banyak yang tidak memahami istilah yang digunakan dalam institusi itu. Di sisi lain, kesibukan dan tuntutan kerja yang amat tinggi dalam operasional perbankan memaksa para staf dan karyawan bank untuk berkonsentrasi hanya pada bidang pekerjaannya. Akibatnya, mereka tidak mengetahui bidang pekerjaan lain yang tidak langsung ditanganinya.
Ujung-ujungnya, ketidaktahuan tersebut membuat para staf dan pegawai bank tidak bisa memberikan pelayanan maksimal kepada para nasabah atau calon nasabah. Istilah-Istilah pada perbankan sangat penting untuk diketahui karena perbankan sekarang merupakan dasar utama pengelolaan bidang ekonomi suatu negara. Apabila keuangan  perbankan suatu negara terus tumbuh, maka tingkat keuangan ekonomi suatu negara juga akan terus meningkat. Itulah pengaruh besar perbankan dalam suatu negara. Karena itulah kita perlu mengetahui istilah-istilah yang ada dalam perbankan.

A.    Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut, maka permasalahan yang akah dibahas dalam makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
             1.          Apa saja daftar singkatan dan pengertiannya baik itu yang ada pada bank syariah maupun bank konvensional...?


PEMBAHASAN

A.     Glosarium Perbankan
Glosarium adalah suatu daftar alfabetis istilah dalam suatu ranah pengetahuan tertentu yang dilengkapi dengan definisi untuk istilah-istilah tersebut. Biasanya glosarium ada di bagian akhir suatu buku dan menyertakan istilah-istilah dalam buku tersebut yang baru diperkenalkan atau paling tidak, tak umum ditemukan.
Berikut akan dipaparkan di paparkan daftar singkatan dan pengertiannya yang ada dalam perbankan :

             1.          Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM)
a.    Pengertian BAPEPAM
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (disingkat Bapepam-LK) adalah sebuah lembaga di bawah Kementerian Keuangan Indonesia yang bertugas membina, mengatur, dan mengawasi sehari-hari kegiatan pasar modal serta merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang lembaga keuangan.[1]
b.    Fungsi Bapepam-LK[2]
1) Penyusunan dan penegakan peraturan di bidang pasar modal primer dan sekunder
2) Penegakan peraturan di bidang pasar modal;
3) Pembinaan dan pengawasan terhadap pihak yang memperoleh izin usaha, persetujuan, pendaftaran dari
4) Badan dan pihak lain yang bergerak di pasar modal;
5) Penetapan prinsip-prinsip keterbukaan perusahaan bagi Emiten dan Perusahaan Publik;
6) Penyelesaian keberatan yang diajukan oleh pihak yang dikenakan sanksi oleh Bursa Efek, Kliring dan
7) Penjaminan, dan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian;
8) Penetapan ketentuan akuntansi di bidang pasar modal;
9) Penyiapan perumusan kebijakan di bidang lembaga keuangan;
10)         Pelaksanaan kebijakan di bidang lembaga keuangan, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
11)         Perumusan standar, norma, pedoman kriteria dan prosedur di bidang lembaga keuangan;
12)         Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang lembaga keuangan;
13)         Pelaksanaan tata usaha Badan.

             2.          Unit Usaha Syari’ah (UUS)
                  1.          Pengertian UUS
Unit Usaha Syariah adalah unit kerja dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu Bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah. (Pasal 1 Angka 10 UU Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah).
Bank umum konvensional yang melakukan kegiaan usaha berdasarkan prinsip syariah wajib membuka UUS. Pembukaan UUS hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia. Modal kerja UUS merupakan modal yang disisihkan dalam suatu rekening tersendiri yang dapat digunakan untuk membiayai kegiatan operasional dan non operasional kantor cabang syariah. Besarnya modal kerja minimal sebesar Rp. 100.000.000.000,- (seratus miliar rupiah). Penyisihan modal kerja UUS dari kantor induknya, dimaksudkan agar pengelolaannya tidak tercampur dengan dana kantor induknya yang beroperasional secara konvensional.[3]

             3.          Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) 
a.    Pengertian BPRS
Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) adalah salah satu lembaga keuangan perbankan syariah, yang pola operasionalnya mengikuti prinsip–prinsip syariah ataupun muamalah islam. BPRS berdiri berdasarkan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Pada pasal 1 (butir 4) UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan, disebutkan bahwa BPRS adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.[4]
b.    Pendirian BPRS
Ada beberapa Persyaratan Umum  yang harus dipenuhi dalam pendirian BPRS :
1)   Memperoleh izin dari Menkeu RI dengan pertimbangan BI.
2)   Bentuk badan hukum BPRS, perusahaan daerah, koperasi dan PT.
3)   Didirikan dan dimiliki oleh Pemda, koperasi dan PT.
4)   Tempat kedudukan BPRS di kecamatan di luar ibu kota negara, ibu kota Dati I dan Dati II.
5)   Wilayah pelayanan mencakup desa – desa dan perkotaan di satu wilayah kecamatan kedudukan BPRS.

             4.          Bank Pembangunan Daerah (BPD)
a.    Pengertian BPD
Bank pembangunan daerah adalah bank yang sebagian atau seluruh sahamnya dimiliki oleh Pemerintah Daerah Provinsi. Berikut daftar Bank Pembangunan Daerah di Indonesia.
b.    Peran BPD
Bank Pembangunan Daerah (BPD) sebagai salah satu bank yang ada pada sistem perbankan nasional memiliki fungsi dan peran yang signifikan dalam konteks pembangunan ekonomi regional karena BPD mampu membuka jaringan pelayanan di daerah-daerah dimana secara ekonomis tidak mungkin dilakukan oleh bank swasta. Undang-Undang No. l3 tahun 1962 tentang asas-asas Ketentuan Bank Pembangunan Daerah mengatakan bahwa BPD berkerja sebagai pengembangan perekonomian daerah dan menggerakkan pembangunan ekonomi daerah untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat serta menyediakan pembiayaan  keuangan pembangunan di daerah, menghimpun dana serta melaksanakan dan menyimpan kas daerah (pemegang / penyimpanan kas daerah). Disamping menjalankan kegiatan bisnis perbankan (Hasan, Anuar, dan Ismail 2010).
Sementara itu KEPMENDAGRI No. 62 Tahun 1999 tentang pedoman organisasi dan tata kerja bank pembangunan daerah pasal 2 juga mengatakan bahwa BPD dibangun adalah untuk mengembangkan perekonomian dan menggerakkan pembangunan daerah melalui kegiatan BPD sebagai Bank. Jumlah BPD di Indonesia Sampai saat ini ada 26 BPD yang ada di Indonesia, rata-rata setiap provinsi mempunyai satu BPD tetapi ada juga BPD yang harus melayani dua provinsi.

             5.          Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI)
a.    Pengertian SWBI
SWBI atau Sertifikat Wadiah Bank Indonesia merupakan salah satu instrument moneter bank Indonesia yang diperuntukkan bagi bank-bank syariah di Indonesia, tujuannya adalah sebagai tempat kelebihan likuiditas dari bank-bank syariah. Berbeda dari SBI yang menggunakan sistem lelang, SWBI menggunakan system wadiah atau titipan, dengan Bank-bank syariah hanya mendapatkan bonus tergantung kebijakan BI jadi tidak tetap berbeda dari SBI, biasanya jika SBI bias mendapatkan 7%-8%, sedangkan SWBI kira-kira hanya 3%. Oleh sebab itu, bank syariah banyak mengucurkan kredit/pembiayaan daripada bank konvensional.[5]
b.    karakteristik
Karakteristik SWBI sebagaimana diterangkan dalam pasal 6 Peraturan BI Tahun 2004 tersebut adalah, Pertama, SWBI diterbitkan dan ditatausahakan tanpa warkat (scripless) dan kedua, SWBI tidak dapat diperjualbelikan (non negotiable). Benefit yang diberikan dari SWBI bukan bunga didasarkan atas system diskonto, akan tetapi apa yang dinamakan dengan bonus. Sebagaimana diterangkan dalam Peraturan BI Tahun 2004 tersebut, dalam pasal 9 disebutkan, Bank Indonesia dapat memberikan bonus atas Penitipan Dana Wadiah sebagai dimaksud Pasal 2 ayat 1. Fungsi SWBI dikatakan sebagai SBI bagi perbankan syariah, secara tidak langsung menyebabkan apabila naik turunnya tingkat suku bunga SBI berdampak juga terhadap perkembangan perbankan syariah.

             6.          Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS)
a.    Pengertian SBIS
Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) adalah surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah berjangka waktu pendek dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia.
b.    Karekteristik SBIS
1)   menggunakan akad ju'alah.
2)   satuan unit sebesar Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah);
3)   berjangka waktu paling kurang 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan;
4)   diterbitkan tanpa warkat (scripless);
5)   dapat diagunkan kepada Bank Indonesia; dan
6)   tidak dapat diperdagangkan di pasar sekunder.
Berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia, SBIS juga dapat diterbitkan dengan menggunakan akad mudharabah, musyarakah, wadiah, qardh, dan wakalah. Mekanisme penerbitan SBIS diterbitkan melalui mekanisme lelang.

             7.          Pasar Uang Antar Bank Syariah (PUAS)
a.    Pengertian PUAS
Pasar Uang Antar Bank digunakan sebagai sarana investasi dan transaksi, karena dalam manajemen perbankan. Nasabah menyimpan dan menarik dana tidak dapat diduga tetapi dapat diprediksi sesuai dengan jangka waktu penyimpanan. Disinilah manajemen harus secara simultan mempertimbangkan berbagai risiko yang akan berpengaruh pada perubahan dana tersebut.Maka Fasilitas Pasar Uang Antar Bank merupakan sarana untuk mengatasi hal tersebut, berkaitan dengan operasional perbankan syariah maka dikenal dengan sebutan Pasar Uang Antar Bank Syariah (PUAS) adalah kegiatan investasi jangka pendek dalam rupiah antar peserta pasar berdasarkan prinsip Mudharabah, dimana transaksi tersebut menggunakan Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank, yang untuk selanjutnya disebut Sertifikat IMA, adalah sertifikat yang digunakan sebagai sarana untuk mendapatkan dana dengan prinsip Mudharabah.[6]
Ada beberapa keuntungan dalam transaksi ini antara lain :
1)   Pendapatan yang baik
2)   Risiko yang rendah
3)   Mudah dicairkan
4)   Sederhana dan Fleksibel
5)   Mekanisme Operasi Pasar Uang Antar Bank Syariah
Pembayaran Sertifikat IMA oleh bank penanam dana dapat dilakukan dengan menggunakan nota kredit melalui kliring atau bilyet giro Bank Indonesia dengan melampiri lembar kedua Sertifikat IMA, atau transfer dana secara elektronis. Dalam hal pembayaran Sertifikat IMA dilakukan dengan menggunakan transfer dana secara elektronis, bank penanam dana wajib menyampaikan lembar kedua Sertifikat IMA kepada Bank Indonesia.
             8.          Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
a.    Pengertian SBI
Menurut Peraturan Bank Indonesia No. 12/11/2010, Sertifikat Bank Indonesia adalah surat berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. Sertifikat Bank Indonesia (SBI) merupakan  salah satu instrumen kebijakan moneter yang digunakan Bank Indonesia dalam melakukan operasi pasar terbuka untuk menyerap kelebihan likuiditas di pasar.
Selain Serifikat Bank Indonesia, terdapat pula instrumen kebijakan moneter yang lain yang disebut Sertifikat Bank Indonesia Syariah ( SBIS). Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya disebut SBIS adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah berdasarkan jangka waktu pendek dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia.
b.    Landasan Hukum
Berdasarkan fatwa DSN MUI No.63/DSN-MUI/XII/2007 tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS), yang menjadi landasan hukum diterbitkannya SBIS adalah surat An-Nisa ayat 29 dan beberapa surat lainnya yang tercamtum dalam fatwa.

             9.          Loan to Deposit Ratio (LDR)
a.    Pengertian LDR
Loan to Deposit Ratio (LDR) adalah rasio antara besarnya seluruh volume kredit yang disalurkan oleh bank dan jumlah penerimaan dana dari berbagai sumber. pengertian lainnya LDR adalah rasio keuangan perusahaan perbankan yang berhubungan dengan aspek likuiditas. LDR adalah suatu pengukuran tradisional yang menunjukkan deposito berjangka, giro, tabungan, dan lain-lain yang digunakan dalam memenuhi permohonan pinjaman (loan requests) nasabahnya. Rasio ini digunakan untuk mengukur tingkat likuiditas. Rasio yang tinggi menunjukkan bahwasuatu bank meminjamkan seluruh dananya (loan-up) atau realtif tidak likuid (illiquid). Sebaliknya rasio yang rendah menunjukkan bank yang likuid dengan kelebihan kapasitas dana yang siap untuk dipinjamkan. LDR disebut juga rasio kredit terhadap total dana pihak ketiga yang digunakan untuk mengukur dana pihak ketiga yang disalurkan dalam bentuk kredit.[7]
Tujuan penting dari perhitungan LDR adalah untuk mengetahui serta menilai sampai berapa jauh bank memiliki kondisi sehat dalam menjalankan operasiatau kegiatan usahanya. Dengan kata lain LDR digunakan sebagai suatu indikator untuk mengetahui tingkat kerawanan suatu bank.
b.    Fungsi LDR
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa LDR pada saat ini berfungsi sebagai indikator intermediasi perbankan. Begitu pentingnya arti LDR bagi perbankan maka angka LDR pada saat ini telah dijadikan persyaratan antara lain :
1)   Sebagai salah satu indikator penilaian tingkat kesehatan bank.
2)   Sebagai salah satu indikator kriteria penilaian Bank Jangkar (LDR minimum 50%)
3)   Sebagai faktor penentu besar-kecilnya GWM (Giro Wajib Minimum) sebuah bank.
4)   Sebagai salah satu persyaratan pemberian keringanan pajak bagi bank yang akan merger.

         10.          Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)
a.    Pengertian BASYARNAS
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) adalah perubahan dari nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang merupakan salah satu wujud dari Arbitrase Islam yang pertama kali didirikan di Indonesia. Pendirinya diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), tanggal 05 Jumadil Awal 1414 H bertepatan dengan tanggal 21 Oktober 1993 M. Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) didirikan dalam bentuk badan hukum yayasan sesuai dengan akta notaris Yudo Paripurno, S.H. Nomor 175 tanggal 21 Oktober 1993.
Peresmian Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) dilangsungkan tanggal 21 Oktober 1993. Nama yang diberikan pada saat diresmikan adalah Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). Peresmiannya ditandai dengan penandatanganan akta notaris oleh dewan pendiri, yaitu Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat yang diwakili K.H. Hasan Basri dan H.S. Prodjokusumo, masing-masing sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Umum Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sebagai saksi yang ikut menandatangani akta notaris masing-masing H.M. Soejono dan H. Zainulbahar Noor, S.E. (Dirut Bank Muamalat Indonesia) saat itu. BAMUI tersebut di Ketuai oleh H. Hartono Mardjono, S.H. sampai beliau wafat tahun 2003.[8]
Kemudian selama kurang lebih 10 (sepuluh) tahun Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) menjalankan perannya, dan dengan pertimbangan yang ada bahwa anggota Pembina dan Pengurus Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) sudah banyak yang meninggal dunia, juga bentuk badan hukum yayasan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sudah tidak sesuai dengan kedudukan BAMUI tersebut, maka atas keputusan rapat Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia Nomor : Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003 nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) diubah menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) yang sebelumnya direkomendasikan dari hasil RAKERNAS MUI pada tanggal 23-26 Desember 2002. Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) yang merupakan badan yang berada dibawah MUI dan merupakan perangkat organisasi Majelis Ulama Indonesia (MUI). Di Ketuai oleh H. Yudo Paripurno, S.H.

         11.          Arbitrase
a.    Pengertian Arbitrase
Secara etimologi Arbitrase berasal dari kata arbitrare (latin) atau arbitrage yang berarti suatu kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. Secara istilah Arbitrase adalah penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh seorang atau beberapa orang arbiter atas dasar kebijaksanaannya dan para pihak akan tunduk pada putusan yang diberikan oleh arbiter yang mereka tunjuk. Dalam menjatuhkan putusan para arbiter biasanya tetap menerapkan hukum seperti halnya yang dilakukan oleh hakim di pengadilan. Walaupun demikian, putusan dari arbitrase berdasarkan kebijaksanaan, akan tetapi norma hukumlah yang menjadi sandaran utama dalam menyelesaikan sengketa antar subyek hukum tersebut.[9]
Dengan demikian, arbitrase merupakan suatu sistem atau cara penyelesaian sengketa keperdataan oleh pihak ketiga yang disepakati atau ditunjuk oleh para pihak baik sebelum terjadinya sengketa maupun setelah terjadinya sengketa. Proses arbitrase yang relatif cepat dan murah, menjunjung tinggi asas konfidensialitas (kerahasiaan), bebas memilih arbiter dengan pertimbangan keahlian (expert) dan para pihak bebas memilih hukum yang akan dipakai dalam proses arbitrase dan putusan yang dihasilkan bersifat final and binding serta merupakan win-loss solution.
b.    Dasar Hukum Arbitrase Syariah
Adapun yang menjadi dasar arbitrase syariah adalah surat  al-Hujarat ayat 9 dan beberapa surat lainnya yang tercantum dalam fatwa. Dan juag perlu kita mengetahui bahwa pelaksanaan syariat Islam di Indonesia didasarkan atas Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat 2, implementasi adanya landasan konstitusional tersebut, beberapa perundang-undangan telah lahir yang berkaitan dengan kedudukan Basyarnas yaitu:
1)   Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama, dan terakhir dirubah dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009.
2)   Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
3)   Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
4)   Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

         12.          Badan Amil Zakat Infaq Shadaqah (BAZIS)
a.    Pengertian BAZIS
            Bazis secara istilah sesuai dengan surat keputusan bersama (SKB) menteri dalam negeri dan menteri agama no 29 tahun 1991 atau 47 tahun 1991 tentang pembinaan BAZIS. Dalam pasal 1 SKB itu disebutkan bahwa yang dimaksud dengan BAZIS adalah lembaga sewadaya masyarakat yang mengelola penerimaan, pengumpulan dan penyaluran dan pemanfaatan ZIS secara berdaya guna dan berhasil guna.
Secara subtansial, pengertian tersebut dapat ditemukan dalam UU No 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat. Pengertian itu kemudian dipertegas lagi dalam keputusan menteri agam republik Indonesia No 581 Tahun 1999 tentang pelaksanaan UU No 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat. Dalam pasal 1 ayat 1 keputusan menteri itu disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Badan Amil Zakat itu adalah organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah terdiri dari unsur masyarakat dan pemerintah dengan tugas mengumpulkan, mendistribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama.
b.    Tugas Dan fungsi
1)   Tugasnya: Sebagaimana termuat dalam pasal 8 UU No 38 tahun 1999 bahwa tugas pokok dari Badan Amil Zakat (BAZ), adalah mengumpulkan, mendistribusikan, dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama. Tugasnya: Sebagaimana tercantum dalam undang-undang dibentuk oleh masyarakat dengan ruang lingkup operasi tingkat regional ataupun nasional.
2)   Fungsinya: sebagai wadah pengelola penerimaan, pengumpul, penyaluran dan pendayagunaan ZIS dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyrakat sebagai wujud partisipasi umat Islam dalam pembangunan nasional juga berfungsi sebagai pembinaan dan pembinaan sewadya masyrakat. Fungsinya : yaitu mengumpulkan, mendistribusikan, dan mendayagunakan dana zakat dari masyarakat.

         13.          Dana pihak ketiga (DPK)
a.    Pengertian DPK
Dana pihak ketiga (simpanan) yang dijelaskan dalam UU Perbankan RI No. 10 tahun 1998 tentang perbankan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan, dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
Menurut Kasmir, dana pihak ketiga adalah dana yang berasal dari masyarakat luas yang merupakan sumber dana terpenting bagi kegiatan operasional suatu bank dan merupakan ukuran keberhasilan bank jika mampu membiayai operasionalnya dari sumber dana ini.[10]
b.    Sumber Dana
Menurut UU Perbankan No. 10 tahun 1998 sumber dana yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1)   Giro adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya atau dengan cara pemindahbukuan.
2)   Deposito adalah simpanan yang penarikannya hanya dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian nasabah penyimpan dengan bank.
3)   Tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat-syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.

         14.          Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES)
a.    Pengertian PKES
Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES) adalah organisasi yang didirikan oleh otoritas, industri, asosiasi, dan stakeholders ekonomi syariah. Organisasiti ditujukan untuk melakukan sosialisasi, komunikasi, edukasi, dan advokasi ekonomi syariah kepada masyarakat dan pelaku usaha. Dalam rangka mengakselerasi pertumbuhan ekonomi syariah, PKES bersama asosiasi dan stakeholders ekonomi syariah menyelenggarakan Gerakan Ekonomi syariah. Gerakan ini merupakan program kampanye ekonomi syariah secara masif dan terintegrasi mengunakan berbagai instrumen media, baik media tradisional maupun media baru (new media).
b.    Sejarah
PKES didirikan di Jakarta untuk jangka waktu yang tidak ditentukan lamanya dan dimulai pada Hari Arbi’a, tanggal 24 (dua puluh empat) Dzulqa’dah 1424 (seribu empat ratus dua puluh empat) Hijriyah atau bertepatan dengan hari Rabu tanggal 17 (tujuh belas) Desember 2003 (dua ribu tiga) Miladiyah. PKES berasaskan Syariah Islam, dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip silaturrahim, kebersamaan, keterbukaan, kejujuran, keadilan, amanah, profesionalisme, serta kemaslahatan, sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (seribu sembilan ratus empat puluh lima).

         15.          Bagi hasil (Profit And Loss Sharing)
a.    Pengertian
Bagi hasil (Profit sharing) adalah berbagi keuntungan antara pihak bank syariah dengan nasabah; prinsip utama yang dilakukan oleh bank syariah. Hunbungan yang terjalin dalam kerjasama bagi hasil adalah hubungan antara pemilik modal (shohibul mal­) dan pekerja (mudharib). Prinsip bagi hasil adalah pembeda antara bank konvensional dan bank syariah yang paling banyak dikenal dalam masyarakat. Pembiayaan bagi hasil merupakan suatu jenis pembiayaan (produk penyaluran dana) yang diberikan bank syariah kepada nasabahanya, dimana pendapatan bank atas penyaluran dana diperoleh dan dihitung dari hasil usaha nasabah.[11]
b.    Bentuk skema bagi hasil
1)   Profit sharing (disebut pula profit-and-loss sharing), yang dijadikan dasar perhitungan adalah profit, yang merupakan selisih antara penjualan/ pendapatan usaha dan biaya-biaya usaha, baik berupa harga pokok penjualan/biaya produksi, biaya penjualan, serta biaya umum dan administrasi. Profit sharing dapat diartikan sebagai sistem pembagian keuntungan yang didapat dari suatu usaha.
2)   Gross profit sharing, yang dijadikan dasar perhitungan adalah gross profit (laba kotor), yakni penjualan/pendapatan usaha dikurangi dengan harga pokok penjualan/biaya produksi.
3)   Revenue sharing, yang dijadikan dasar perhitungan adalah penjualan /pendapatan usaha.

         16.          Dewan Pengawas Syariah (DPS)
a.    Pengertian
Menurut Keputusan Dewan Pimpinan MUI tentang susunan pengurus DSN-MUI, No: Kep-98/MUI/III/2001, DPS adalah badan yang ada di lembaga keuangan syariah dan bertugas mengawasi pelaksanaan keputusan DSN di lembaga keuangan syariah tersebut.[12]
b.    Fungsi DPS (dewan pengawas syariah)
1)   Melakukan pengawasan secara periodik pada lembaga keuangan syariah yang berada di bawah pengawasannya.
2)   Mengajukan usul-usul pengembangan lembaga keuangan syariah kepada pimpinan lembaga yang bersangkutan dan kepada DSN.
3)   Melaporkan perkembangan produk dan operasional lembaga keuangan syariah yang diawasinya kepada DSN sekurang-kurangnya dua kali dalam satu tahun anggaran.
4)   DPS merumuskan permasalahan-permasalahan yang memerlukan pembahasan-pembahasan DSN.

         17.          Dewan Syariah Nasional (DSN)
a.    Pengertian DSN
Dewan Syariah Nasional adalah lembaga yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mempunyai fungsi melaksanakan tugas-tugas MUI dalam menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan aktifitas lembaga keuangan syariah. Salah satu tugas pokok DSN adalah mengkaji, menggali dan merumuskan nilai dan prinsip-prinsip hukum Islam (Syari`ah) dalam bentuk fatwa untuk dijadikan pedoman dalam kegiatan transaksi di lembaga keuangan syari`ah. Melalui Dewan Pengawas Syari`ah melakukan pengawasan terhadap penerapan prinsip syari`ah dalam sistem dan manajemen lembaga keuangan syari`ah (LKS).[13]
b.    Kedudukan, Status & Anggota
Dewan Syariah Nasional adalah Dewan Yang dibentuk oleh MUI untuk menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan aktivitas lembagan keuangan syariah.
1)   DSN merupakan bagian dari MUI
2)   DSN membantu pihak terkait, seperti Depkeu, BI dan lain-lain dalam menyusun peraturan/ ketentuan untuk lembaga keuangan syariah.
3)   Anggota DSN terdiri dari para ulama, praktisi, dan para pakar dalam bidang yang terkait dengan muamalah syariah.
4)   Anggota DSN ditunjuk dan diangkat oleh MUI dengan masa bakti sama dengan periode masa bakti pengurus MUI Pusat, (5 tahun).

         18.          Giro Wajib Minimum (GWM)
a.    Pengertian GWM
Giro Wajib Minimum adalah jumlah dana minimum yang wajib dipelihara oleh Bank yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar Persentase tertentu dari Dana Pihak Ketiga Bank / DPK (merupakan kewajiban Bank kepada penduduk dan bukan penduduk dalam rupiah dan valuta asing). Dalam perhitungan GWM, DPK berpedoman kepada laporan DPK dalam Rupiah dan Valuta Asing pada Laporan Berkala Bank Umum. Bank diwajibkan memenuhi GWM dalam rupiah yang terdiri dari GWM Primer, GWM Sekunder & GWM LDR serta tambahan GWM Valas bagi bank devisa.
Bank Umum wajib memelihara GWM dalam rupiah yang ditetapkan sebesar 5% dari dana pihak ketiga dalam Rupiah dan untuk bank devisa juga wajib memelihara GWM dalam valuta asing yang ditetapkan sebesar 3% dari dana pihak ketiga dalam Valuta Asing. Ketentuan ini berlaku pula untuk Bank Umum yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah. Selain memenuhi ketentuan tersebut di atas Bank wajib memelihara tambahan GWM dalam rupiah yang ditetapkan berdasarkan besarnya: DPK; dan LDR. Kewajiban memelihara tambahan GWM dalam rupiah berdasarkan DPK ditetapkan yakni Bank yang memiliki DPK dalam rupiah sampai dengan Rp. 1 triliun.

         19.          Daftar Singkatan Kantor dan Pengertiannya
a.    Kantor Cabang
Kantor Cabang adalah Kantor Bank yang bertanggung jawab secara langsung kepada kantor pusat Bank yang bersangkutan, dengan alamat tempat usaha yang jelas di mana Kantor Cabang tersebut melakukan usaha.
b.    Kantor Cabang Bank
Kantor Cabang Bank adalah Kantor bank yang secara langsung bertanggung jawab kepada kantor pusat bank yang bersangkutan, dengan tempat usaha yang permanen dan alamat kantor yang jelas tempat kantor cabang tersebut melakukan kegiatannya (branch office).
c.    Kantor Cabang Bank Asing
Kantor Cabang Bank Asing adalah Kantor Cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri berdasarkan hukum asing atau berkantor pusat di luar negeri, yang secara langsung atau tidak langsung bertanggung jawab kepada kantor pusat bank yang bersangkutan dan mempunyai alamat serta kedudukan di Indonesia.
d.    Kantor Cabang Pembantu
Kantor Cabang Pembantu adalah Kantor di bawah Kantor Cabang yang kegiatan usahanya membantu Kantor Cabang induknya.
e.    Kantor Cabang Pembantu Bank Asing
Merupakan Kantor bank yang secara langsung bertanggung jawab kepada Kantor Cabang Bank Asing yang berkedudukan di Indonesia, dan mempunyai alamat serta tempat kedudukan di Indonesia.
f.      Kantor Cabang Pembantu Syariah (KCPS)
Kantor Cabang Pembantu Syariah (KCPS) adalah Kantor cabang pembantu UUS yang kegiatan usahanya membantu KCS induknya, dengan alamat tempat usaha yang jelas sesuai dengan lokasi KCPS tersebut melakukan usahanya, termasuk kantor di bawah kantor cabang pembantu syariah atau kantor kas syariah dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri.
g.    Kantor Cabang Syariah (KCS)
Kantor Cabang Syariah (KCS) adalah Kantor cabang UUS yang bertanggung jawab kepada UUS yang bersangkutan, dengan alamat tempat usaha yang jelas sesuai dengan lokasi KCS tersebut melakukan usahanya, termasuk kantor cabang pembantu syariah dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri.
h.    Kantor di Bawah Kantor Cabang
Adalah Kantor cabang pembantu atau kantor kas yang kegiatan usahanya membantu kantor induknya.
i.      Kantor di Bawah Kantor Cabang Syariah
Kantor Cabang Pembantu Syariah atau Kantor Kas Syariah yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan prinsip syariah dalam rangka membantu Kantor Cabang Syariah induknya.
j.      Kantor Kas
Kantor Kas adalah Kantor di bawah Kantor Cabang yang kegiatan usahanya membantu kantor induknya kecuali melakukan pembiayaan.
k.    Kantor Kas Syariah (KKS)
Merupakan Kantor kas UUS yang kegiatan usahanya membantu KCS atau KCPS induknya, kecuali memberikan pembiayaan, dengan alamat tempat usaha yang jelas sesuai dengan lokasi KKS tersebut melakukan usahanya.
l.      Kantor Perwakilan
Merupakan Kantor suatu bank yang berada di negara lain yang tidak menjalankan kegiatan bank sebagaimana lazimnya, biasanya hanya mempunyai beberapa orang pegawai untuk mengembangkan usaha yang dapat diteruskan ke kantor pusat atau kantor cabangnya (representative office).


PENUTUP

a.       Kesimpulan
Ada beberapa daftar singkatan yang ada pada perbankan, di antaranya :
1)   Badan Abitrase Syariah National (BASYARNAS)
2)   Unit Usaha Syariah (UUS)
3)   Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS)
4)   Bank Pembangunan Daerah (BPD)
5)   Pasar Uang Antar Bank Berdasarkan Prinsip Syari’ah (PUAS)
6)   Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI)
7)   Dana Pihak Ketiga (DPK)
8)   Dewan Pengawas Syariah (DPS)
9)   Dewan Syariah National (DSN)
10)              Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES)
11)              Bagi Hasil/Profit And Loss Sharing (PLS) dan lain-lain.

b.      Saran
Dengan selesainya makalah ini, kami sadar bahwasanya makalah  ini masih jauh dari kesempurnaan, karena masih banyak kekurangan dan kesalahan baik dari segi materi pembahasan maupun ejaan kata, maka dari itu kami mengharapkan adanya saran dan kritik yang membangun dari pembaca agar di kemudian hari kami dapat menyusun makalah lebih baik lagi. Harapan  kami semoga dengan adanya makalah ini dapat menambah wawasan anda mengenai Glosarium Perbankan (istila-istilah yang ada dalam perbankan).


DAFTAR PUSTAKA

Wiroso. 2009. Produk Perbankan Syariah. Jakarta: LPFE Usakti.
Dewi, Gemala. 2004. Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian  Syari’ah di                               Indonesia. Jakarta: Kencana.
Wirdyaningsih. 2005. Bank dan Asuransi Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Antonio, Muhammad Syafi’i. 2001. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Jakarta:  Gema Insani.
Kasmir. 2011. Dasar-Dasar Perbankan. Jakarta: Rajawali Pers.
Tarsidin. 2010. Bagi Hasil: Konsep dan Analisis. Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI.




[1] Wiroso, Produk Perbankan Syariah, (Jakarta: LPFE Usakti, 2009) h. 27.
[2] Ibid.. h.28.
[3] Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syari’ah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004) h.70-76.
[4] Wirdyaningsih, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005) h. 64.
[5] Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syari’ah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004) h.113.
[6] Ibid.. h. 110.
[7] Latumaerissa, Badan Hukum dalam Perbankan Syari’ah (Jakarta, Gema Insani, 1999) h. 23.
[8] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2001) h. 213-214.
[9] Ibid.. h. 213.
[10] Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011) h. 64.
[11] Tarsidin, Bagi Hasil: Konsep dan Analisis, (Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI, 2010)
[12] Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syari’ah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004) h.70.
[13] Ibid.. h. 70.

1 comment :