Indexia

Learning to appreciate a process for a change
Powered by Blogger.

Sejarah Baitul Mal

No comments
    Dewasa ini suatu negara di dunia pasti membutuhkan suatu institusi yang mampu memperlancar aktivitas perekonomianya. Dan tentunya institusi tersebut harus mempunyai peran yang sangat signifikan untuk kelancaran aktivitas perekonomianya. Dan institusi tersebut sudah ada sejak zaman dulu dan Madinah merupakan kota pertama yang memperkenalkannya, yang pada saat itu di pimpin dan dicetuskan oleh Rasulullah saw, institusi tersebut di sebut Baitul Mal. Pada waktu itu Baitul Mal memegang peranan yang sangat vital karena bukan hanya aspek ekonomi tapi semua aspek kehidupan negara. Pada zaman modern ini Baitul Mal disebut dengan Departemen Keuangan. Tidak bisa dibayangkan seandainya Rasulullah saw tidak mencetuskan konsep tentang Baitul Mal. Begitu besarnya peranan Baitul Mal. Dalam masalah Baitul Mal yang merupakan perbendaharaan Negara, dipisahkan harta Negara dari pada harta kepala Negara dan dari milik pribadinya. Syara menetapkan bahwa Baitul Mal mempunyai hak berdiri sendiri, mengendalikan harta rakyat, dapat memiliki, dapat dimilikan dan dapat di tuntut, dapat menerima tarikah orang meninggal yang tidak ada warisnya, ataupun menerima wasiat dan dapat pula bertindak sebagai penggugat atau tergugat. Dalam makalah ini akan di jelaskan tentang sejarah ringkas Baitul Mal pada Masa Rasulullah, Sahabat, sampai Zaman Modern ini.

A.    Pengertian Baitul Mal
Secara bahasa Baitul Mal berasal dari bahasa Arab bait yang berarti "rumah", dan al-mal yang berarti "harta". Baitul Mal berarti rumah untuk mengumpulkan atau menyimpan harta.[1] Sedangkan secara istilah Baitul Mal adalah suatu lembaga atau pihak (al jihat) yang mempunyai tugas khusus menangani segala harta umat, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran negara. Jadi setiap harta baik berupa tanah, bangunan, barang tambang, uang, komoditas perdagangan, maupun harta benda lainnya dimana kaum muslimin berhak memilikinya sesuai hukum syara’. Baitul Mal dapat juga diartikan secara fisik sebagai tempat (al-makan) untuk menyimpan dan mengelola segala macam harta yang menjadi pendapatan negara.[2]
Menurut Ensiklopedia hukum Islam, Baitul mal adalah lembaga keuangan negara yang bertugas menerima, menyimpan, dan mendistribusikan uang negara sesuai dengan aturan syariat. Sedangkan menurut Harun Nasution, Baitul mal bisa diartikan sebagai pembendaharan (umum atau negara). Suhrawardi K.Lubis, menyatakan Baitul mal dilihat dari segi istilah fikih adalah suatu lembaga atau badan yang bertugas mengurusi kekayaan negara terutama keuangan, baik yang berkenaan dengan soal pemasukan dan pengelolaan maupun yang berhubungan dengan masalah pengeluaran dan lain-lain.[3]
Berdasarkan literature klasik ekonomi islam, baitul mal (treasury house) merupakan institusi sentral dari negara. Ia menjadi institusi konkrit dari negara itu sendiri. Bersama khalifah, baitul mal menjalankan fungsi-fungsi negara bukan saja pada aspek ekonomi, tapi pada semua aspek kehidupan dalam negara. Ialah yang menjalankan kebijakan-kebijakan ekonomi melalui divisi-divisi pembangunan, menciptakan mata uang, membangun prasarana dan infrastruktur perekonomian, menerima, mengelola dan menyalurkan dana-dana pembangunan, dan lain-lain.

B.     Sejarah Baitul Maal
      1.                        Masa Rasulullah SAW (1-11 H/622-632 M)
Baitul Mal dalam makna istilah sesungguhnya sudah ada sejak masa Rasulullah SAW, yaitu ketika kaum muslimin mendapatkan ghanimah (harta rampasan perang) pada Perang Badar. pada saat itu para sahabat berselisih paham mengenai cara pembagian ghanimah, sehingga turunlah firman Allah surat Al-Anfal ayat 41  yang menjelaskan hal tersebut, yang berbunyi:
* (#þqßJn=÷æ$#ur $yJ¯Rr& NçGôJÏYxî `ÏiB &äóÓx« ¨br'sù ¬! ¼çm|¡çHè~ ÉAqߧ=Ï9ur Ï%Î!ur 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuŠø9$#ur ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur ÇÆö/$#ur È@Î6¡¡9$# bÎ) óOçGYä. NçGYtB#uä «!$$Î/ !$tBur $uZø9tRr& 4n?tã $tRÏö6tã tPöqtƒ Èb$s%öàÿø9$# tPöqtƒ s)tGø9$# Èb$yèôJyfø9$# 3 ª!$#ur 4n?tã Èe@à2 &äóÓx« íƒÏs% ÇÍÊÈ  
Artinya:  ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, Maka Sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, Kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, Yaitu di hari bertemunya dua pasukan. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Setelah turunnya ayat ini, kemudian Rasulullah mendirikan baitul mal yang mengatur setiap harta benda kaum muslimin baik harta yang keluar maupun harta yang masuk. bahkan, Nabi SAW sendiri menyerahkan segala urusan keuangan Negara kepada lembaga keuangan ini.
            Pada masa Rasulullah SAW ini, Baitul Mal lebih mempunyai pengertian sebagai pihak (al-jihat) yang menangani setiap harta benda kaum muslimin, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran. Saat itu Baitul Mal belum mempunyai tempat khusus untuk menyimpan harta, karena saat itu harta yang diperoleh belum begitu banyak. Kalaupun ada, harta yang diperoleh hampir selalu habis dibagi‑bagikan kepada kaum muslimin serta dibelanjakan untuk pemeliharaan urusan mereka. Rasulullah SAW senantiasa membagikan ghanimah dan seperlima bagian darinya (al-akhmas) setelah usainya peperangan, tanpa menunda‑nundanya lagi. Dengan kata lain, beliau segera menginfakkannya sesuai peruntukannya masing-masing.[4]
System pengelolaan baitul mal saat itu masih sangat sederhana, sehingga harta benda yang masuk langsung habis dibagi-bagikan kepada kaum muslimin yang berhak mendapatkannya, atau dibelanjakan untuk keperluan umum perbaikan pengelolaan baitul mal terjadi dimasa Khalifah Abu Bakar Aa-Siddiq dimana khalifah pertama ini menekankan pentingnya fungsi baitul mal. Adapun sumber-sumbernya berasal dari zakat, wakaf, jizyah (pembayaran dari non-muslim untuk menjamin perlindungan keamanan), Kharraj (pajak atas tanah atau hasil tanah). 
      2.            Masa Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq (11-13 H/632-634 M)
Ketika Abu Bakar menjadi Khalifah, keadaan Baitul Mal masih berlangsung seperti itu di tahun pertama kekhilafahannya (11 H/632 M). Jika datang harta kepadanya dari wilayah-wilayah kekuasaan Khilafah Islamiyah, Abu Bakar membawa harta itu ke Masjid Nabawi dan membagi-bagikannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Untuk urusan ini, Khalifah Abu Bakar telah mewakilkan kepada Abu Ubaidah bin Al Jarrah. Hal ini diketahui dari pernyataan Abu Ubaidah bin Al Jarrah saat Abu Bakar dibai’at sebagai Khalifah. Abu Ubaidah saat itu berkata kepadanya, ‘Saya akan membantumu dalam urusan pengelolaan harta umat.
      3.            Masa Khalifah Umar bin Khaththab (13-23 H/634-644 M)
Selama memerintah, Umar bin Khaththab tetap memelihara Baitul Mal secara hati-hati, menerima pemasukan dan sesuatu yang halal sesuai dengan aturan syariat dan mendistribusikannya kepada yang berhak menerimanya. Dalam salah satu pidatonya, yang dicatat oleh lbnu Kasir (700-774 H/1300-1373 M), penulis sejarah dan mufasir, tentang hak seorang Khalifah dalam Baitul Mal, Umar berkata, “Tidak dihalalkan bagiku dari harta milik Allah ini melainkan dua potong pakaian musim panas dan sepotong pakaian musim dingin serta uang yang cukup untuk kehidupan sehari-hari seseorang di antara orang-orang Quraisy biasa, dan aku adalah seorang biasa seperti kebanyakan kaum muslimin.[5]
      4.            Masa Khalifah Utsman bin Affan (23-35 H/644-656 M)
Kondisi yang sama juga berlaku pada masa Utsman bin Affan. Namun, karena pengaruh yang besar dan keluarganya, tindakan Usman banyak mendapatkan protes dari umat dalam pengelolaan Baitul Mal. Dalam hal ini, lbnu Sa’ad menukilkan ucapan Ibnu Syihab Az Zuhri (51-123 H/670-742 M), seorang yang sangat besar jasanya dalam mengumpulkan hadis, yang menyatakan, Usman telah mengangkat sanak kerabat dan keluarganya dalam jabatan-jabatan tertentu pada enam tahun terakhir dari masa pemerintahannya. Ia memberikan khumus (seperlima ghanimah) kepada Marwan yang kelak menjadi Khalifah ke-4 Bani Umayyah, memerintah antara 684-685 M dari penghasilan Mesir serta memberikan harta yang banyak sekali kepada kerabatnya dan ia (Usman) menafsirkan tindakannya itu sebagai suatu bentuk silaturahmi yang diperintahkan oleh Allah SWT. Ia juga menggunakan harta dan meminjamnya dari Baitul Mal sambil berkata, "Abu Bakar dan Umar tidak mengambil hak mereka dari Baitul Mal, sedangkan aku telah mengambilnya dan membagi-bagikannya kepada sementara sanak kerabatku".[6]
      5.            Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib (35-40 H/656-661 M)
            Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Talib, kondisi Baitul Mal ditempatkan kembali pada posisi yang sebelumnya. Ali, yang juga mendapat santunan dari Baitul Mal, seperti disebutkan oleh lbnu Kasir, mendapatkan jatah pakaian yang hanya bisa menutupi tubuh sampai separo kakinya, dan sering bajunya itu penuh dengan tambalan. Ketika berkobar peperangan antara Ali bin Abi Talib dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan (khalifah pertama Bani Umayyah), orang-orang yang dekat di sekitar Ali menyarankan Ali agar mengambil dana dari Baitul Mal sebagai hadiah bagi orang-orang yang membantunya. Tujuannya untuk mempertahankan diri Ali sendiri dan kaum muslimin.
      6.            Masa Khalifah-Khalifah Sesudahnya
Ketika Dunia Islam berada di bawah kepemimpinan Khilafah Bani Umayyah, kondisi Baitul Mal berubah. Al Maududi menyebutkan, jika pada masa sebelumnya Baitul Mal dikelola dengan penuh kehati-hatian sebagai amanat Allah SWT dan amanat rakyat, maka pada masa pemerintahan Bani Umayyah Baitul Mal berada sepenuhnya di bawah kekuasaan Khalifah tanpa dapat dipertanyakan atau dikritik oleh rakyat.

PENUTUP
a.       Kesimpulan
Secara bahasa Baitul Mal berasal dari bahasa Arab bait yang berarti "rumah", dan al-mal yang berarti "harta". Baitul Mal berarti rumah untuk mengumpulkan atau menyimpan harta.  Sedangkan secara istilah Baitul Mal adalah suatu lembaga atau pihak (al jihat) yang mempunyai tugas khusus menangani segala harta umat, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran negara.
Zaman Nabi, tidak ada baitul mal atau harta publik yang bersifat permanen, karena semua pendapatan Negara di distribusikan secara langsung.Tidak ada penggajian, tidak ada pengeluaran Negara, dan Baitul Mal dalam tataran public belum perlu. Pada masa khalifah Abu Bakar, pembagian Baitul Mal belum di rasa perlu. Dalam istilah modern, dikenal istilah Baitul Mal Wa Tamwil (BMT). Dan merupakan lembaga swasta yang tidak saja berfungsi penerima dan penyalur harta yang berhak, dan juga mengupayakan pembangunan dari harta itu sendiri (tawil) yang di landaskan atas dasar prinsip-prinsip islam.

DAFTAR PUSTAKA

Aziz Dahlan, Abdul. 1999.  Ensiklopedi Hukum Islam, Cetakan II. Jakarta: PT       Ichtiar Baru van Hoeve.
Qadim Zallum, Abdul. 1983. Al Amwal Fi Daulah Al Khilafah. Cetakan I. Beirut :            Darul ‘Ilmi Lil Malayin.
Maman, Abdul. 2012. Hukum Ekonomi Syariah. Jakarta: Kencana.
Qardhawy, Yusuf. 1988.  Hukum Zakat. Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa.


[1] Abdul Aziz Dahlan,  Ensiklopedi Hukum Islam, Cetakan II, (Jakarta : PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1999). h. 33.
[2] Abdul Qadim Zallum. Al Amwal Fi Daulah Al Khilafah. Cetakan I. Beirut : Darul ‘Ilmi Lil Malayin, 1983) h. 52.
[3] Abdul maman, Hukum Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, 2012). h. 353.
[4] Abdul Qadim Zallum. Al Amwal Fi Daulah Al Khilafah. Cetakan I. Beirut : Darul ‘Ilmi Lil Malayin, 1983) h. 93.
[5] Abdul Aziz Dahlan,  Ensiklopedi Hukum Islam, Cetakan II, (Jakarta : PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1999). h. 54.
[6] Ibid..h. 66.

No comments :

Post a Comment