Perkembangan Hukum Perikatan Islam
Perikatan dalam bahasa Belanda
disebut “ver bintenis”. Istilah
perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan
dalam hal ini berarti hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang
lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan,
misalnya jual beli barang. Dapat berupa peristiwa, misalnya lahirnya seorang
bayi, meninggalnya seorang. Dapat berupa keadaan, misalnya; letak pekarangan
yang berdekatan, letak rumah yang bergandengan atau letak rumah yang
bersusun (rusun). Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan
bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang atau oleh masyarakat sendiri
diakui dan diberi akibat hukum. Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara
orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum. Jika dirumuskan,
perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan
antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan
pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini
merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa
hukum lain yang menimbulkan perikatan.
Dalam pembahasan ini akan dibahas
mengenai perkembangan hukum perikatan pada awal mula masuknya Islam di Indonesia
yang dipelopori oleh para saudagar
melalui cara perdagangan dan perkawinan, pada masa belanda hingga
terbentuknya aturan-aturan mengenai hukum perikatan yang berupa Undang-Undang dalam
rangka meningkatkan kekuatan hukum pada masa sekarang ini.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan uraian tersebut, maka permasalahan yang akan
dibahas dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana
perkembangan Hukum Perikatan Islam di Indonesia dari awal mula masuknya Islam hingga
masa sekarang.
PEMBAHASAN
Hukum perikatan telah mengalami
perkembangan di Indonesia, hal ini di tandai pada awal mula sebelum datangnya Belanda,
setelah datangnya Belanda dan masa setelah Indonesia merdeka. Berikut akan
dijelaskan sejarah perkembangan hukum perikatan sebelum datangnya belanda yang
di pelopori oleh para saudagar melalui perdagangan dan perkawinan, hingga masa
terbentuknya undang-undang tentang perikatan setelah Indonesia merdeka. Yaitu
sebagai berikut:[1]
1.
Sebelum
Kedatangan Belanda
Awal proses islami
kepulauan Indonesia dilakukan oleh para saudagar melalui perdagangan dan
perkawinan. Setelah Agama Islam berakar dalam masyarakat, peranan saudagar
digantikan oleh para ulama sebagai guru dan pengawal hukum islam. Hukum Islam
sebagai hukum yang berdiri sendiri telah ada dalam masyarakat, tumbuh dan
berkembang di samping kebiasaan atau adat penduduk yang mendiami kepulauan
nusantara ini.
2.
Setelah
Kedatangan Belanda
a. Masa
VOC(verenigde oost indiche compagnie)
(1602-1800), berfungsi sebagai pedagang dan badan pemerintah, karena dalam
praktiknya susunan badan peradilan yang disandarkan pada hukum belanda tidak
dapat berjalan. VOC membiarkan
lembaga-lembaga yang asli yang ada dalam masyarakat berjalan terus seperti
keadaan sebelumnya. D. W. Freijer menyusun kompendium yang memuat hukum
perkawinan dan kewarisan islam yang digunakan oleh pengadilan dalam menyelesaikan
sengketa di kalangan umat Islam (kompendium
Freijer). Selain itu ada kitab hukum mogharaer yang digunakan pada
pengadilan Negeri Semarang, dan Pepakem Cirebon.
b. Pada
masa pemerintahan Kolonial Belanda, sikap terhadap Hukum Islam mulai berubah
secara perlahan dan sistematis, yaitu sebagai berikut:
1) Pada
masa Pemerintahan Belanda/deandels (1808-1811)
terdapat pemahaman umum bahwa “Hukum Islam adalah hukum asli orang Pribumi”
2) Pada
masa Pemerintahan Inggris/Thomas S. Raffles (1811-1816) juga terdapat anggapan
bahwa “hukum yang berlaku dikalangan rakyat adalah Hukum islam”.
3) Setelah
Indonesia kembali kepada belanda, ada usaha belanda untuk menghilangkan
pengarus Islam dari sebagian besar orang Indonesia.
4) Untuk
megekalkan kekuasaannya, belanda melaksanakan politik hukum yang dengan sadar
hendak menata dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan Hukum Belanda.
M. R. Scholten Van Oud haarlem menyesuaikan keadaan Undang-Undang Belanda
dengan keadaan istimewa di Hindia Belanda.
Ia berpendapat bahwa “untuk mencegah timbulnya keadaan yang tidak menyenangkan
bahkan mungin juga perlawanan, jika diadakan pelanggaran terhadap Orang Bumi
Putra dan Agama Islam, maka harus diikhtiarkan agar mereka dapat tetap dalam
lingkungan hukum agama serta adat istiadat mereka”. Pendapat ini menyebabkan:
pasal 75 RR/regering reglement
menjadi dasar bagi pemerintahan belanda menjalankan kekuasaannya di indonesia,
dengan mengintruksikan pengadilan untuk menggunakan undang-undang gama,
lembaga-lembaga dan kebiasaan itu tidak bertentangan dengan asas kepatutan dan
keadilan umum. Pasal 78 (2) RR mendorong pemerintah hindia belanda mendirikan
pengadilan agama (priesterrad/pengadilan
pendeta) di Jawa dan Madura yang direalisasikan pada tahun 1882 dengan di
keluarkannya S. 18882 NO. 152.
5) Pada
masa abad ke-19 berkembang pendapat, bahwa di Indonesia berlaku Hukum Islam,
yaitu antara lain dikemukakan oleh Salomon Keyzer. Kemudian diperkuat oleh Lodewijk
Willem Christian Van Den Berg berpendapat, bahwa hukum mengikuti agama yang
dianut sesorang. Jika orang itu memeluk agama islam, hukum islamlah yang
berlaku baginya. Pendapatnya dikenal dengan teori receptio in complexu yaitu orang Islam Indonesia yang telah
melakukan resepsi Hukum Islam dalam keseluruhannya dan sebagai suatu kesatuan.
Cristian Snouck
Hourgronje menentang teori receptio in
complexu, dan berpendapat, bahwa yang berlaku bagi orang islam bukanlah
hukum islam tetapi Hukum Adat. Dalam hukum adat telah masuk pengaruh Hukum Islam
tetapi pengaruh itu baru mempunyai mempunyai kekuatan hukum bila benar-benar
telah diterima oleh Hukum Adat (berdasarkan penelitiannya di Aceh dan Gayo).
Pendapat ini dikenal dengan theorie receptie
yang diikuti oleh Cornelis Van Vollenhoven dan Berthand Ter Haar. Melalui theorie receptie ini belanda mulai
membiasakan penggunaan Hukum Belanda di Indonesia terutama di bidang hukum
perikatan, dengan jalan mengeluarkan Hukum Islam bidang perikatan dari
aktivitas perdagangan karena dianggap tidak lagi berlaku di Indonesia.
3.
Setelah
Indonesia Merdeka
Kedudukan Hukum Islam dalam ketatanegaraan Indonesia terbagi
dalam dua periode: a) periode penerimaan Hukum Islam sebagai sumber persuasif; b) periode penerimaan hukum
islam sebagai sumber otoritatif.
Sumber persuasif ialah sumber yang
terhadapnya orang harus yakin dan menerimanya, sedang sumber otoritatif ialah sumber yang mempunyai
kekuatan (autority).[2]
a) Periode
penerimaan hukum islam sebagai sumber persuasif
Dengan
proklamasi kemerdekaan 17 agustus 1945 dan berlakunya UUD 1945-walaupun di dalamnya
tidak memuat tujuh kata Piagam Jakarta-maka teori resepsi kehilangan dasar
hukumnya. Sebab, dasar hukum teori resepsi adalah pasal 134 (2) indische staats regeling (IS), sedangkan
dengan berlakunya UUD 1945, IS tidak berlaku lagi. Teori ini mendapatkan
kritikan dari para ahli Hukum Islam di Indonesia, antara lain oleh Hazairin dan
Sajuti Thalib yang berpendapat, bahwa hukum adat baru berlaku bila tidak
bertentangan dengan Hukum Islam (receptio
a contratio). Menurut Hazairin, teori resepsi bertujuan politik yaitu:
untuk menghapus Hukum Islam di Indonesia dan mematahkan perlawanan bangsa Indonesia
terhadap kekuasaan pemerintah kolonial yang di jiwai oleh Hukum Islam.
UUD 1945, aturan peralihan pasal II
memang menyatakan, “segala badan negara dan peraturan yang ada masih
berlangsung berlaku, selama belum di adakan yang baru menurut undang-undang
dasar ini”. Namun demikian, dasar hukum yang ditetapkan oleh suatu Undang-Undang
asar yang sudah tidak berlaku, tidak dapat di jadikan dasar hukum suatu
Undang-Undang Dasar baru. Setelah berlakunya uud 1945, hukum islam berlaku bagi
bangsa indonesia yang beragama Islam karena kedudukan hukum islam itu sendiri,
bukan karena ia telah diterima oleh hukum adat. Hal ini juga diperkuat dengan
pasal 29 UUD 1945.
Sejak ditandatangatinya kesepakatan
antara para pemimpin nasionalis sekuler dan nasionalis islamipada tanggal 22
juni1945 sampai dengan saat di undangkannya
dekrit presiden RI pada tanggal 5 juli 1959, ketentuan “kewajiban
menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya” adalah sumber persuasif. Sebagaimana halnya semua
hasil sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
adalah sumber persuasif bagi UUD
1945, maka Piagam Jakarta sebagai salah satu hasil sidang BPUPAKI juga
merupakan sumber persuasif UUD 1945.
b) Periode
penerimaan hukum islam sebagai sumber otoritatif
Barulah dengan dikembangkannya
Piagam Jakarta dalam dekrit presiden RI tanggal 5 juli 1959, maka Piagam Jakarta
yang mengandung penerimaan terhadap Hukum Islam menjadi sumber otoritatif dalam hukum tata negara Indonesia,
bukan sekedar sumber persuasif.
Untuk megetahui dasar hukum Piagam Jakarta
dalam konsiderans dekrit presiden tanggal 5 juli 1959, perlu dipelajari dasar
hukum pendahuluan dalam suatu konstitusidan konsiderans (pertimbangan) dalam
suatu peraturan perundang-undangan. Sebagai mana kita ketahui, semula Piagam Jakarta
adalah pembukaan rancangan UUD 1945 yang dibuat oleh badan penyelidik usaha-usaha
persiapan kemerdekaan Indonesia. Dala konsiderans dekrit presiden ditetapkan,
“bahwa kami berkeyakinan Piagam Jakarta tertanggal 22 juni 1945 menjiawai
undang-undang dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dalam
konstitusi tesebut”.
Politik hukum negara Republik Indonesia
yang berdasarkan pancasila mengehendaki berkembangnya kehidupan beragama dan
Hukum Agama dalam kehidupan Hukum Nasional. Dengan berpangkal pada teori Friederich
Julius Stahl dan Hazairin, Tahir Azhary, mengemukakan teori “lingkaran
konsentris” yang menunjukkan betapa eratnya hubungan antara Agama, Hukum, dan Negara.[3]
Teori ini dapat dipakai sebagai
teropong untuk melihat negara republik indonesia sebagai negara berdasarkan atas
hukum yang bercita hukum pancasila pada masa mendatang. Negara berdasarkan atas
hukum berfalsafah negara pancasila, melindungi agama dan penganut agama, bahkan
barusaha memasukkan ajaran dan hukum agama dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Mohammad hatta, sala seorang the
founding father RI, menyatakan bahwa dalam pengaturan negara hukum republik
indonesia, syariat islam berdasarkan al-Qur’an dan Hadist dapat dijadikan
peraturan perundang-undangan Indonesia sehingga orang islam mempunyai sistem
syariat yang sesuai dengan kondisi Indonesia.[4]
Pancasila adalah sumber hukum dari
Hukum Nasional Indonesia. Dalam Hukum Nasional Indonesia yang berdasarkan Pancasila,
berlaku hukum agama dan toleransi antar-umat beragama dalam bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara menyangkut keyakinan agama, ibadah agama dan hukum
agama. Sila pertama pancasila, sebagaimana tercantum dalam alinea keempat
pembukaan UUD 1945 dan pasal 29 ayat (1), menunjukkan bahwa undang-undang dasar
negara Republik Indonesia meletakkan “ketuhanan yang maha esa” sebagai hukum
dasar yang dijunjung tinggi dan dijadikan pedoman dalam bernegara. Pancasila
sebagai falsafah negara, dasar negara, dan hukum dasar mendudukkan agama dan
hukum agama pada kedudukan fundamental. Karenanya, unifikasi hukumdalam hukum
nasional hanya dapat diwujudkan dalam bidang-bidang tertentu, dan agama tidak
memberikan ajaran, atau kekuatan sendiri.
Menurut pasal II aturan peralihan
UUD 1945, sistem hukum nasional yang berlaku sekarang ini berasal dari beberapa
sistem hukum, yaitu:
1) Hukum
islam;
2) Hukum
produk kolonial;
3) Hukum
adat; dan
4) Hukum
produk legislasi nasional.
Menurut Prof. Dr. H. A. Gani
Abdullah, SH., sistem pembentukan hukum nasional yang dipilih adalah sistem
unifikasi daripada sistem diferensiasi. Hal ini disebabkan karena adanya
keragaman etnik dalam masyarakat yang mengakibatkan adanya keragaman hukum,
keragaman keyakinan (penundukan hukum sesuai agama), dan keragaman golongan
masyarakat Indonesia, maka diberlakukan norma hukum yang dapat berlaku bagi
seluruh masyarakat karena adanya ketiga hal tersebut.
Namun sistem diferensiasi masih
digunakan untuk hukum nasional karena adanya pluralitas agama yang dianut.
Ketentuan perundang-undangan yang membenarkan sistem diferensiasi adalah:
a) Pasal
2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974: perkawinan berlaku sah jika dilakukan menurut
kepercayaan agama masing-masing.
b) Pasal
49 ayat (3) UU No. 5 tahun 1960: badan-badan agama diakui haknya, hal-hal
mengenai wakaf dalam Hukum Islam diakui, dan diatur oleh peraturan pemerintah
c) PP
No. 28 tahun 1977, merupakan PP yang mengatur mengenai wakaf.
d) UU
No. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama dibuat untuk golongan masyarakat
tertentu, yaitu Islam. Dilihat dari UU ini, golongan warga negara Indonesia
berdiri sendiri:
1) Golongan
islam
2) Golongan
Non-islam
e) Bab
I ketentuan umum, pasal 1 butir 13 UU No. 10 tahun 1998, menjelaskan tentang
pengertian prinsip syariah dalam dunia perbankan, yaitu perjanjian berdasarkan
hukum islam antara bank dengan pihak lain dala aktivitas perbankan.
Walaupun, dalam sistem hukum
nasional tidak diatur mengenai hukum perikatan secara Nasional, hukum perikatan islam dapat berlaku atas
dasar pengakuan secara diferensiasi ataupun melalui pilihan hukum atas kehendak
para pihak pada saat bertransaksi sebagaimana diatur dalam UU No. 30/1999
tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. Secara ilustratif
penggambaran pelaksanaan hukum perikatan
islam ditanah air kita saat ini dapat kita lihat padaskema yang dikemukakan
oleh Hartono Mardjono pada halaman berikut ini.[5]
Akhirnya kita dapat mengambil
kesimpulan, bahwa kedudkan hukum islam (termasuk di dalamnya hukum perikatan
islam) setelah Indonesia merdeka sudah lebih kokoh, tanpa di kaitkan dengan
hukum adat. Hal ini dapat kita lihat dari pembinaan hukum yang berprinsip
sebagai berikut:
a. Hukum
Islam yang disebut dan ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dapat
berlaku lansung tanpa harus melalui hukum adat.
b. Republik
indonesia wajib mengatur suatu masalah sesuai dengan hukum islam sepanjang
hukum itu hanya berlaku bagi pemeluk agama islam.
c. Kedudukan
hukum islam dalam sistem hukum indonesia sama dan sederajat dengan hukum adat
dan hukum barat.
d. Hukum
islam juga menjadi sumber pembentukan hukum Nasional di samping hukum adat,
hukum barat, dan hukum lainnya yang hukum dan berkembang dalam negara Republik
Indonesia.
PENUTUP
a.
Kesimpulan
Perkembangan hukum perikatan
di indonesia terbagi kedalam 3 periode, yaitu:
1) Sebelum
Kedatangan Belanda
Yaitu
awal proses islamisasi kepulauan indonesia dilakukan oleh para saudagar melalui
perdagangan dan perkawinan. Setelah agama islam berakar dalam masyarakat,
peranan saudagar di gantikan oleh para ulama sebagai guru dan pengawal hukum
islam.
2) Setelah
Kedatangan Belanda
Yang pertama
pada masa VOC, berfungsi sebagai pedagang dan badan pemerintah. Dalam praktiknya,
mereka membiarkan lembaga-lembaga asli yang ada dalam masyarakat berjalan terus
seperti keadaan sebelumnya. Yang kedua
pada masa pemerintahan kolonial belanda, sikap terhadap hukum islam mulai
berubah secara perlahan dan sistematis, yaitu belanda melaksakan politik hukum
yang dengan sadar hendak menata dan mengubah kehidupan hukum di indonesia
dengan hukum belanda.
3) Setelah
Indonesia Merdeka
ü Periode
penerimaan Hukum Islam sebagai sumber persuasif,
yaitu setelah proklamasi kemerdekaan 17 agustus 1945 dan berlakunya UUD 1945,
maka teori resepsi kehilangan dasar hukumnya. Sebab, dasar hukum teori resepsi
adalah pasal 134 (2) indische staats
regeling (IS), sedangkan dengan berlakunya UUD 1945, IS tidak berlaku lagi.
ü Periode
penerimaan Hukum Islam sebagai sumber otoritatif,
yaitu barulah setelah ditempatkannya Piagam Jakarta dalam dekrit presiden RI
tanggal 5 juli 1959, maka Piagam Jakarta yang mengandung penerimaan terhadap
Hukum Islam menjadi sumber otoritatif
dalam hukum tata negara Indonesia, bukan sekedar sumber persuasif.
b.
Saran
Dengan
selesainya makalah ini saya sadar bahwasanya makalah saya ini masih jauh dari
kesempurnaan, karena masih banyak kekurangan dan kesalahan baik dari segi
materi pembahasan maupun ejaan kata, maka dari itu saya mengharapkan adanya
saran dan kritik yang membangun dari pembaca.
DAFTAR
PUSTAKA
Suny, Ismail. 1996. “Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia” dalam
Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum
Nasional. Jakarta: Gema Insani Press.
Dewi, Gemala. 2007. Hukum perikatan islam di indonesia.
Jakarta: kencana.
Azhary, Muhammad Tahir. 1992. Negara Hukum, Suatu Studi tentang Prinsip- Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam,
Implementasinya pada Periode Negara
Madinah dan Masa Kini. Jakarta: Bulan Bintang.
Ali, M. Daud. 2004. Asas-Asas Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum
dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta:
Rajawali Press.
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment